Handy Yunianto, Kepala Divisi Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, menjelaskan aliran dana asing ke luar dari pasar obligasi dalam dua bulan terakhir. Salah satu pemicunya ialah ada kenaikan yield US Treasury yang membuat rentang yield antara Indonesia dan AS lebih rendah. 

Faktor lain, menurut dia, adalah menguatnya indeks dolar AS atau DXY index, sehingga ini juga berdampak pada pelemahan rupiah. Investor asing yang memegang surat berharga negara (SBN) terkena kerugian nilai tukar mata uang atau forex loss.

"Meskipun demikian, secara year to date, investor asing masih mencatatkan net inflows (aliran masuk) di pasar obligasi pemerintah sekitar Rp 60 triliun," ujar Handy kepada Katadata.co.id, Senin (9/10). 

Aldian Taloputra, Ekonom Standard Chartered Bank, mengatakan tekanan rupiah saat ini disebabkan oleh faktor eksternal, yakni dari kenaikan suku bunga di negara maju, terutama Amerika Serikat, pelemahan ekonomi global, dan kondisi geopolitik dunia.

Menurut dia, kenaikan suku bunga AS mempengaruhi kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS atau yield US Treasury, dan berimbas pada berkurangnya arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Meskipun saat ini rupiah melemah terhadap dolar AS, pelemahannya sejak awal tahun masih yang paling kecil sebesar 0.8% dibanding pelemahan mata uang regional yang sekitar 5%-6%," ujar Aldian kepada Katadata.co.id, Senin (9/10).

Laporan riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyebutkan, sentimen pasar global telah mengalami perubahan pesat dalam beberapa bulan terakhir. Pada Maret 2023, Rupiah mencapai titik tertingginya di level 14.670. Namun, sejak itu, nilainya telah terdepresiasi sebesar 6,6%.

Untungnya, kinerja rupiah terlihat relatif lebih baik jika dibandingkan sejumlah mata uang global lainnya.

Tren apresiasi dolar AS ini dapat dikaitkan dengan kuatnya kinerja perekonomian AS yang tidak terduga. Akibatnya, FOMC memberikan sinyal penurunan suku bunga yang lebih sedikit, sehingga mengurangi perkiraan mereka sebelumnya yang hanya akan melakukan empat kali pemotongan menjadi hanya dua kali.

The Fed (Federal Reserve)
The Fed (Federal Reserve) (123rf)

Risiko Pelemahan Rupiah

David Sumual menjelaskan pelemahan rupiah berisiko membuat aliran dana asing keluar semakin banyak dari pasar obligasi. Selain itu, harga minyak berpotensi cenderung meningkat, karena biasanya perusahaan atau pemerintah meningkatkan permintaan barang impor karena khawatir harga barang impor meningkat. 

"Selain itu, pemerintah masih banyak menyimpan dana. Jadi kalau dikeluarkan akan dorong impor juga sampai akhir tahun, dan menimbulkan risiko," ujar David. 

Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, sebenarnya tren rupiah memang hampir selalu melemah terhadap dolar AS. Risiko yang paling terasa dengan pelemahan rupiah ialah biaya impor yang semakin mahal. 

"Dampaknya ada kemungkinan harga barang-barang dalam negeri jadi ikut naik menyesuaikan nilai tukar," kata William. 

Berbeda dengan dua perspektif sebelumnya, Aldian menilai dampak pelemahan rupiah terhadap postur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan inflasi masih cukup terkendali. Hal ini terutama melihat stabilisasi nilai tukar yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). 

BI memang sudah melakukan upaya intervensi dengan menyediakan valas di pasar demi menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah gejolak pasar global.

Terbukti, cadangan devisa Indonesia pada akhir September tercatat hanya US$ 134,9 miliar, menurun drastis sebesar US$ 2,2 miliar dibanding angka pada Agustus sebesar US$ 137,1 miliar.  

Masa Depan Nilai Tukar Rupiah 

Rully Arya Wisnubroto, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyebutkan, hal terpenting ialah pelemahan rupiah tidak boleh ditafsirkan sebagai cerminan memburuknya kondisi perekonomian Indonesia, melainkan sebagai konsekuensi dari sentimen global yang ada.

"Kami mengantisipasi potensi penyesuaian kebijakan suku bunga antara AS dan Indonesia pada bulan depan," ujar Rully dalam hasil risetnya, Senin (9/10).

Dia memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga kebijakannya menjadi 5,75% pada November, sehingga menyisakan sedikit ruang bagi penurunan suku bunga kebijakan di Indonesia karena potensi tekanan terhadap rupiah.

Di sisi lain, dia yakin BI akan menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga kebijakannya demi mempertahankan kesenjangan yang menguntungkan dengan FFR.

"Melakukan hal ini akan menjadi kontraproduktif dan dapat berdampak negatif terhadap perekonomian dalam negeri. Kami mengantisipasi bahwa BI akan terus menerapkan kebijakan stabilisasi," ujar Rully.

Dalam kesempatan berbeda William Hartanto memproyeksi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih bisa berlanjut dengan target terdekat pada level 16.000 hingga akhir tahun ini.

Senada, Aldian menjelaskan data-data tenaga kerja yang kuat memberikan alasan The Fed untuk mungkin kembali menaikan suku bunga di akhir tahun ini.

Dengan demikian, menurut dia, hal ini membuat suku bunga obligasi pemerintah AS naik, dan berimbas pada berkurangnya arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika hal itu benar-benar terjadi, kondisi nilai tukar rupiah berpotensi terus melemah sampai akhir tahun.

Sementara itu, David Sumual memperkirakan rupiah bisa saja semakin melemah hingga akhir tahun jika kondisi geopolitik antara Israel dan Palestina terus meluas dan berkepanjangan. Sebaliknya, rupiah berpotensi menguat kokoh jika kondisi geopolitik dunia tak berlangsung dalam waktu lama.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement