Jangan Terapkan Pajak Hanya di Market Place, Juga Media Sosial

Rizky Alika
7 Februari 2018, 15:13
Aulia
Ilustrator: Betaria Sarulina

Apakah ada aturan di luar negeri yang bisa kita contoh?

Semua market ini sebenarnya dinamis. Kita tidak perlu mencontoh luar negeri karena kita mempunyai keunikan sendiri.

Anda melihat seakan-akan pemerintah agak kesulitan jika harus diterapkan secara menyeluruh?

Seluruh elemen stakeholder yang berbicara tentang digital economy membangun industri ini mengalami ambiguity uncertainty. Itu sebabnya, kami menawarkan diri untuk bersama-sama merumuskan supaya fit di semua elemen. Jangan buru-buru. Pajak adalah instrumen negara untuk bisa tumbuh.

Supaya potensi pajaknya didapatkan semua?

Itu satu, tapi kan bisa dibalik. Misalnya, karena Anda bayar pajak sekarang yang dulu tidak pernah, kami bisa meminta boleh tidak ada insentif buat penjual yang sudah sadar, sudah mau (bayar pajak), sudah terdata. Kami mengatakan sama pemerintah, “Mari kita lihat secara komprehensif.” Tidak mengatakan ini marketplace saja dulu.

Untuk melihat potensi pajaknya, seberapa banyak mereka yang berjualan di social media dibandingkan dengan yang berjualan di marketplace?

Tidak ada tangan kita bisa menyentuh mereka dalam konteks supaya mendapatkan informasi lebih dalam. Berapa orang Indonesia yang menjual di situ? Semestinya itu bisa kan tataran pemerintah mendapatkan itu dari si platform-nya.

Jangan-jangan waktu para perwakilan e-commerce sharing ke pemerintah, data yang dibagi marketplace terlalu menggoda buat ditarik pajaknya duluan?

Tidak ada istilah menggoda karena memang kami potensi untuk menghasilkan pajak besar. Investasi yang masuk di e-commerce triliunan. Wajar kalau siapapun akan berpikir bagaimana ini memberikan kontribusi kepada negara dalam bentuk pajak.

Jadi bisa dikatakan marketplace khawatir kalau pajak cuma diberlakukan di marketplace, orang-orang akan pergi ke platform lain?

Ya khawatir dong. Sangat khawatir kan saya bilang tadi dampak sosialnya.

 Potensi yang berpindah itu kira-kira seberapa banyak?

Kalau pindahnya dari sini, bisa saja kami laporkan. Dari Blanja.com kehilangan segini. Tapi, apakah penjual mau jujur sama saya? Mau pindah ke mana habis ini dari Blanja? Tidak mau jujur. Penjual bilang saja, “Berhenti jualan, Pak.” Kenapa? Karena dia ketakutan saja.

Kisaran tarif pajaknya akan berapa persen?

Jangankan kisarannya, bentuknya saja masih tidak tahu. Saya cuma tahunya nanti akan jadi agen penyetor. Seperti apa itu laporannya? Apa yang harus saya setor ke DJP? Bagaimana kalau info ini ternyata privasi Anda? Bagaimana kalau ada informasi (yang hanya bisa diberikan) atas persetujuan Anda? Kan saya janji tidak boleh kasih informasi sana-sini.

Apakah tidak masalah seandainya tarif pajak sama dengan konvensional (jual-beli offline), asalkan aturan berlaku bukan hanya untuk marketplace e-commerce, tapi juga platform lainnya?

Belum tentu, karena kami belum lihat juga aturannya.

Ada desas-desus aturan pajak e-commerce bakal keluar Februari 2018?

Kalau soal itu makanya kami, “Wah, kok desas-desusnya jadi agak kencang?” Makanya kami ingatkan dulu karena kami sudah meminta untuk berdialog pada konteks lebih dalam, bukan dialog sekadar datang. Kami mau bicarakan bagaimana solusinya. Kami dengan Kementerian perdagangan, RPP (rancangan peraturan pemerintah) e-commerce itu kami bahas. Kami kasih masukan pasal demi pasal. Nah, ini (diskusi dengan Kemenkeu) belum sampai.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...