Pajak Jangan Sampai Menjegal Kami

Ameidyo Daud Nasution
9 Mei 2016, 09:40
Tiket.com
Katadata
Natali Ardianto, Co-Founder dan CTO Tiket.com

Di mata salah seorang Pendiri (Co-Founder) Tiket.com, Natali Ardianto, pemerintah saat ini menaruh perhatian besar terhadap perkembangan perdagangan secara elektronik (e-commerce). Bahkan, Presiden Joko Widodo menjanjikan akan menyiapkan lingkungan yang mendukung untuk melahirkan e-commerce berskala besar di Indonesia dan diperhitungkan di level dunia.

Meski begitu, Natali menyoroti kebijakan pemerintah dalam perpajakan yang dapat menganggu perkembangan e-commerce di dalam negeri. Alih-alih mendapatkan insentif, kebijakan itu akan memberatkan, bahkan dapat mematikan perusahaan perintis (start up) yang masih membutuhkan sokongan dana.

“Belum ada untung, disuruh pula bayar pajak,” kata pria berusia 36 tahun ini, yang juga memangku jabatan Chief Technology Officer (CTO) Tiket.com, dalam sebuah wawancara khusus dengan wartawan Katadata, Ameidyo Daud, Rabu (27/5) dua pekan lalu. Dalam wawancara di sela-sela menghadiri acara “E-Commerce Expo and Summit” tersebut, Natali juga memaparkan strateginya mengembangkan Tiket.com sejak pertama kali berdiri 2011 dan prospek e-commerce di Indonesia ke depan. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana dukungan pemerintah sejauh ini terhadap sektor e-commerce?

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan yang sangat luar biasa pada bisnis e-commerce itu adalah adanya dukungan pemerintah, terutama dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Perdagangan. Mereka benar-benar serius dalam menggarap e-commerce. Apalagi sekarang ada roadmap e-commerce yang dicanangkan Kementerian Kominfo dan Jokowi.

Tapi sebenarnya masih ada hambatan berupa masalah perpajakan, salah satunya pajak cuma-cuma. Contohnya adalah undian berhadiah tapi kena pajak sosial 30 persen. Padahal dari kita sudah kasih gratis (hadiah), itu pajaknya. Jadi seperti OLX atau Tokopedia itu nanti dipajak untuk servis mereka yang gratis ke merchant.

Pelaku e-commerce seperti Tiket.com juga kena pajak itu?

Tidak, karena kalau kami berdasarkan komisi dan ada pendapatannya. Jadi ada pemotongan pajak di situ. Sedangkan e-commerce ini yang akan berpotensi bayar pajak, mereka sudah berdarah-darah. Belum ada untung, disuruh pula bayar pajak

Apa hambatan lain yang dihadapi?

Tidak bisa dibilang hambatan, tapi sebetulnya untuk infrastruktur dan jaringan internet Indonesia itu dapat dikatakan tidak adil. Jawa paling kuat (koneksi internet) tapi daerah lain tidak ada penetrasi internet, sehingga adopsi teknologi sangat lemah. Infrastruktur itu tanggung jawab pemerintah dan swasta yang berlomba-lomba membantu mempercepat penyebaran Internet. Saya pikir kami tidak meminta apa-apa, tapi kata kuncinya adalah jangan sampai kami dijegal.

Maksudnya dijegal?

Membebaskan namun tidak menghambat. Hambatan itu seperti pajak tadi. Bayangkan kalau ada pajak, misalnya OLX disuruh bayar dari 5 tahun yang lalu. Dia akan tutup karena tidak bayar pajak dari dulu. Apalagi mereka tidak ambil untung, kok sekarang ada pajak cuma-cuma.

Tapi pemerintah kan mengejar penerimaan dari sektor yang belum dipajaki?

Sebetulnya ini lebih mirip, mana yang lebih dulu antara ayam dan telur. Kalau di luar negeri itu ada tax incentive. Jadi misalnya omzet di bawah sekian tidak usah bayar pajak. Kalau misalnya usia perusahaan baru 2 sampai 5 tahun tidak usah bayar pajak. Jadi, kami juga sebetulnya mau bayar pajak tapi yang masuk akal. Seperti Tiket.com dari awal 100 persen bayar pajak tanpa manipulasi, karena kami ingin menjalankan bisnis dengan aman dan nyaman. Tapi ada startup yang misalnya tidak tidak ada untung, harus bayar pajak. Itu kan tidak masuk akal. Kalau harus kenakan pajak ke merchant, artinya (barang) jadi lebih mahal. Begitu ada kompetitor asing yang tidak bayar pajak dan marketplace yang tidak bayar pajak, lalu mereka masih bisa nyaman karena domisilinya tidak di Indonesia. Maka akan kalah kami karena kenakan harga (pajak) ke merchant akan direspons dengan charge harga kepada pelanggan.

Apa saja insentif yang diharapkan dari pemerintah?

Kami tidak terlalu berharap apa-apa. Yang penting jangan dijegal. Misal ada ketidakjelasan pajak (Pajak penghasilan/PPh). Itu ada yang 1 persen terhadap gross atau 10 persen terhadap net, membingungkan sekali itu kami mau pakai yang mana. Ada kategorinya, misal untuk travel dihitung berdasarkan gross. Tapi kalau bayar pajak 1 persen dari gross itu hitungannya seperti bayar pajak 20 hingga 30 persen karena margin kami kan sangat kecil.

Jadi, kendala e-commerce cuma soal pajak?

Menurut saya cuma pajak yang kami paling berhati-hati, karena itu bisa membunuh perusahaan apabila salah hitung. Kena denda miliaran, lalu tidak bisa bayar, game over.

Bagaimana dukungan deregulasi dari Kominfo terhadap e-commerce ticketing?

Kalau di Tiket.com dampaknya tidak langsung. Tapi saya ada grup Whatsapp dengan Pak Rudiantara (Menteri Kominfo). Ketika berkomunikasi dan memberi masukan, didengarkan betul sama dia. Jadi tidak berbalas pantun tapi dengan action. Jadi kami happy.

Kominfo juga minta bantuan sosialisasi apa yang mereka rencanakan, dan kami diundang untuk memberikan masukan. Contohnya roadmap e-commerce itu buah karya teman-teman e-commerce dan bukan cuma pemerintah. Biasanya dulu mereka (Kominfo) hanya meeting saja, lalu sosialisasi. Saya ingat betul tahun 2013, waktu UU ITE itu sosialisasinya cuma dipasang di tembok kantor dan tidak disebar. Untung saat itu ada teman yang foto UU ITE seperti apa, lalu di-share sehingga heboh. Akhirnya Kominfo saat itu mau memperbaiki. Tapi kalau itu lolos, mungkin UU ITE kita lebih kejam ketimbang sekarang. Itu Kominfo yang dulu.

Bagaimana persaingan bisnis tiket online?

Kami tidak begitu takut karena kami sendiri yang mengerti industri di Indonesia, kekuatan, kelemahan, serta cara pembayaran seperti apa. Asing itu bermain di pembayaran dengan kartu kredit, kami dengan transfer bank. Kata kuncinya adalah percaya diri karena kita banyak sabotase diri sendiri. Belum memulai tapi mendengarkan orang bilang risiko, jadi kita takut duluan. Padahal kita bisa meski risiko besar.

Bagaimana awal mendirikan usaha ini?

Awalnya 7 co-founder yang tidak kenal satu sama lain. Kami mencari profesonal, sekarang 5 orang dan semua menjalankan bisnis ini profesional. Benar ya benar, salah ya salah, tidak ada yang namanya teman gue.

Siapa saja pesaingnya saat itu?

Dulu ada Gonla (dalam negeri), lalu dari luar negeri ada Agoda. Sekarang Agoda sudah turun di Indonesia karena situs travel lokal mulai naik awareness masyarakat. Metode pembayaran lokal juga menggunakan transfer dari banyak bank, sedangkan mereka (asing) masih mengandalkan pembayaran lewat kartu kredit yang penetrasinya di sini hanya 15 juta pengguna.

Saat ini pesaing siapa saja?

Traveloka, Pegi-pegi, lalu masing-masing maskapai.

Bagaimana menghadapi persaingan itu, termasuk dengan agen offline?

Kalau dalam industri ada istilah kuadran, kami tidak ingin masuk ke kuadran yang sama. Kalau yang lain jual tiket murah, kami mengejar kualitas dan loyalitas. Jadi kami punya segmen berbeda dan tidak saling bunuh-membunuh juga. Ngapain juga kami nyemplung di kolam yang sama.

Kualitas yang seperti apa?

Orang yang suka beli murah itu, yang karakteristik pendapatannya tidak besar. Kami mencari pebisnis atau ibu rumahtangga yang pendapatn rumahtangganya B ke atas. Jadi mampu berbelanja tapi dengan loyalitas yang ditawarkan maka mereka akan balik dan balik lagi karena mendapat keuntungan dari situ. Loyalitas itu reward-nya mulai dari dapat powerbank hingga voucer hipermarket. Hal itu yang tidak ditawarkan kompetitor lain.

Presiden menekankan pentingnya e-commerce melakukan inovasi. Seperti apa bentuknya?

Tidak perlu sampai inovasi karena pasar e-commerce kita masih dalam proses. Proses inovasi dilakukan kalau kita sudah mentok. Tapi sekarang kita belum mentok, masih banyak pasar.

Indonesia ini menempati posisi 10 dunia untuk jumlah pengguna internet. Tapi penetrasi internet hanya 30 persen. Sedangkan Malaysia penetrasinya sudah 70 persen atau Singapura 90 persen. Jadi perlu memaksimalkan penetrasi internet dengan memperkenalkan layanan online. Intinya, yang tadinya layanan offline ke online saja.

Terkait pendanaan, apakah modal ventura sudah cukup untuk mendanai start up?

Pendanaan tidak ada masalah karena kami masih bayi. Start up sendiri ada fasenya dari fase Seed (benih), A, B, dan C. Semua lini harus dipenuhi, misalnya Seed itu di bawah Rp 1 miliar, A itu sudah di atasnya. Mungkin (start up) baru matang 10 atau 20 tahun lagi

Kata kuncinya adalah momentum. Jangan sampai momentum sekarang jadi pudar, karena dulu 2011 dan 2012 e-commerce sempat surut karena tidak ada produk berkualitas dari start up Indonesia.

Kualitasnya seperti apa?

Contohnya dulu itu Koprol diakuisisi Yahoo, lalu semua pada buat (start up). Groupon saja dalam 6 bulan buat 64 kloningan Groupon. Tapi tidak sampai setahun hanya bersisa 12 karena tidak berkualitas. Yang sekarang juga mulai latah, pertama ada Go-Jek, lalu sekarang ada Blujek. Padahal, kata kuncinya adalah kualitas pengembangan produk dan bukan hanya bisa membikin.

Bagaimana dampak ke depan?

Membahayakan, karena kalau investor tertarik investasi (karena dianggap satu sukses) lalu gagal, berarti dia beranggapan susah berinvestasi di Indonesia. Meskipun dalam start up juga katanya 90 persen mengalami kegagalan.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...