Menjelajah Web3, Generasi Baru Internet Melibatkan Dunia Kripto
Perkembangan internet telah menyentuh generasi ketiga, yakni Web 3.0 atau disingkat Web3. Awalnya internet diciptakan pada 1990-an dengan nama Web1.0, dengan sifat terbuka dan desentralisasi. Sejak 2000-an hingga sekarang, internet yang kita gunakan adalah Web2.0, di mana perusahaan teknologi besar memiliki pengaruh besar dan infrastruktur dalam sebuah situs.
Pada Web3, seluruh data akan saling berhubungan dengan sistem terdesentralisasi. Inilah yang membedakan dengan Web2.0 yang menyimpan data di satu repositori terpusat.
Istilah tersebut sudah ada sejak lama, namun istilah Web3 kembali muncul dalam setahun terakhir. Adapun NY Times mencatat, kemunculan kembali istilah Web3, sebagian terjadi karena beberapa hal, seperti hype, bagian dari pemasaran, serta kecenderungan rasa takut ketinggalan hal baru atau fear of missing out (FOMO).
Awal Kemunculan Web 3.0
Web 3.0 diciptakan oleh co-founder Ethereum, Gavin Wood, pada 2014 sebagaimana dilansir dari CNBC Internasional. Kerap disingkat dengan Web3, istilah tersebut muncul dari visi Wood terhadap masa depan internet sebagai penerus dari Web 1.0 dan Web 2.0.
Menurutnya, Web3 adalah internet yang bergerak dengan sistem desentralisasi dan menerapkan demokrasi. Dengan begitu, pemain besar dunia maya seperti Amazon, Microsoft, bahkan Google, tidak mendominasi.
Dominasi Web 2.0 saat ini memungkinkan adanya monopoli di layanan internet. Untuk itu, Wood menilai bila terjadi suatu kesalahan, maka akan berdampak ke banyak orang. Dia juga menyoroti kepercayaan pengguna internet terhadap pihak yang berada di balik layanan, termasuk pemilik perusahaan yang menjalankan layanan.
Menurut data Semrush, jumlah lalu lintas pengguna di situs Google, Amazon, Youtube, dan Facebook melebihi gabungan semua situs peringkat lima hingga 20. Hal ini membuktikan bahwa monopoli layanan internet, membuat pengguna hanya mengakses situs yang sama, alih-alih situs lain yang tersedia di internet.
Adanya sistem sentralisasi yang digunakan raksasa internet tersebut, memantik Wood untuk menyoroti kepercayaan pengguna internet. Menurutnya, pengguna mau tidak mau harus percaya bahwa layanan tersebut akan menjaga data pribadinya dipegang secara sepihak.
“Jadi kita agaknya merancang diri kita ke dalam versi dystopian dari dunia ini,” kata Wood dalam webcast bertajuk Beyond the Valley.
Sebagai informasi, Web 1.0 atau Web1 awalnya adalah proyek pemerintah Amerika Serikat bernama Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET) yang muncul pada 1968. ARPANET bergerak sebagai jaringan kecil yang menghubungkan pemerintah dan ilmuwan dari beberapa universitas di sana. Konsep world wide web baru muncul dari seorang ilmuwan komputer, Tim Berners-Lee.
Pada saat itu, Web1 hanya bisa diakses segelintir orang dan informasi yang dihasilkan kebanyakan berasal dari beberapa perusahaan. Mengutip Pintu, generasi Web1 masih bersifat kaku, statis, dan interaksi hanya read-only. Dengan begitu, pengguna Web1 pada era tersebut hanya bisa menggunakan internet untuk membaca dan mencari informasi
Adapun generasi internet berikutnya adalah Web 2.0 yang berkembang dari 2004 hingga sekarang, bersamaan dengan lahirnya era media sosial. Pada mulanya, Myspace dan Facebook adalah pelopor media sosial, yang yang memungkinkan interaksi sosial antar penggunanya. Kemudian, muncul Google dan YouTube yang membawa konsep berbagi, memberi, dan mencari informasi dalam satu platform.
Berbeda dengan Web1 yang menawarkan interaksi sebatas read only, pada generasi Web2 pengguna internet sudah bisa berinteraksi read and write. Selain itu, pengguna internet juga bisa membaca sekaligus membagikan informasi di platform media sosial. Dari perkembangan tersebut, lahir kategori pekerjaan dan industri baru berbasis internet. Salah satunya, yakni profesi influencer yang bertugas membuat konten sehari-harinya di platform media sosial.
Kaitan Web3.0 dengan Kripto
Perkembangan Web3 tidak lepas dari mata uang kripto, terutama Bitcoin. Satoshi Nakamoto, pencipta Bitcoin, merupakan pencetus lahirnya blue map atau peta biru sistem pembayaran alternatif pada 2008. Pembayaran itu menggunakan kode kriptografi dan teknologi bernama blockchain, yang melahirkan sistem pembayaran terdesentralisasi.
Pengembangan tersebut direspon oleh pendiri Ethereum, dengan membuat smart contract yang kelak menjadi fondasi dari Web3. Teknologi tersebut menghubungkan jaringan terdesentralisasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Maka dari itu, transaksi di Web3 kebanyakan akan menggunakan mata uang kripto.
Sebagai perbandingan, pada generasi Web2, pengguna internet bisa membeli item digital apapun dalam suatu situs. Namun, item tersebut bisa menghilang jika pembuat situs menutup layanannya atau bahkan menghapus data pengguna.
Di sisi lain, pada generasi Web3 kemungkinan tersebut tidak akan ditemukan. Itu karena, kepemilikan item pada Web3 bersifat secara langsung melalui non-fungible token atau NFT. Alhasil, apabila pengguna ingin berhenti menggunakan layanan serta item di dalamnya, maka pengguna internet bisa menjual item miliknya di open source market.
Karakteristik Web3.0
Melansir laman Pintu, terdapat empat karakteristik dari Web3, yakni trustless, permissionless, self-governance, dan data ownership.
Trustless yang dimaksud adalah interaksi pengguna dalam Web3 akan mengandalkan algoritma komputer tanpa perlu perantara pihak ketiga. Interaksi ini pun tidak perlu izin tertentu (permissionless), jadi data pengguna tetap terjaga.
Kemudian, karakteristik self-governance ini diwujudkan dalam sistem decentralized autonomous organization atau DAO, yang dipakai berbagai aplikasi dan platform. Dengan sistem ini, pengguna bisa menentukan arah kebijakan platform, sehingga bisa menjauh dari konsep sentralisasi yang digunakan di Web2.0
Karakteristik data ownership memungkinkan penggunanya untuk mengontrol data pribadi, berbeda dengan layanan Web2 yang memegang data pribadi penggunanya tanpa adanya perlindungan.