6 Cara Menulis Cerpen, Lengkap dengan Jenis dan Contohnya

Ghina Aulia
16 Januari 2024, 16:05
Cara menulis cerpen.
Unsplash
Ilustrasi, menulis cerpen.

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya juga.

Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

***

Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali. Bapak terus menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

Demikian pembahasan tentang cara menulis cerpen, jenis-jenis, dan contohnya. Membuat cerpen bisa melatih keterampilan menulis serta mengeksplorasi imajinasi dan kreativitas.

Halaman:
Editor: Safrezi
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...