Ombudsman Minta Kemendag Evaluasi Harga Eceran Tertinggi Beras
Ombudsman meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengevaluasi penetapan harga eceran tertinggi (HET) beras. Langkah ini dilakukan guna memperbaiki tata kelola perdagangan pangan.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, HET beras pada saat ini terlihat jelas sebagai kebijakan pro konsumen, dan hal ini menjadi tidak masalah jika negara tersebut memiliki jumlah warga miskin yang banyak.
Namun, ia menyebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 10,14% dan sisanya tidak miskin.
“Kami sampaikan ke Kementerian Perdagangan nanti 14 hari kerja kita bisa berkoordinasi agar bisa mengawal sama-sama, sehingga dalam 30 hari semua tindakan korektif dari Ombudsman sudah diselesaikan,” kata Yeka dalam acara Peringatan Hari Pangan Sedunia 2021 secara virtual, Senin (18/10).
Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag) No. 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang penetapan harga eceran tertinggi beras menyebutkan HET beras untuk wilayah Jawa, Lampung dan Sumatera Selatan ditetapkan Rp9.450/kg untuk medium dan Rp12.800/kg untuk premium.
Untuk Papua, HET beras medium adalah Rp10.250/kg sementara untuk beras premium Rp13.600/kg.
Data hargapangan.id pada hari ini menunjukan harga beras di wilayah Jawa sudah di atas Rp10.000/kg.
Menurutnya kebijakan HET juga harus dievaluasi melalui tiga aspek. Pertama, evaluasi besaran HET yang ditetapkan. Pasalnya, HET belum mengalami perubahan selama 2017 sampai 2021 meskipun inflasi dan biaya produksi meningkat.
Kedua, terkait sanksi tegas kepada oknum pedagang yang menjual barang di atas HET. Sampai saat ini, Ombudsman belum melihat adanya penindakan tegas dari aparat terhadap para pelanggar.
Terakhir, yakni terkait dengan pelabelan, ia menyampaikan kebijakan ini bisa berlaku jika proses pelabelan sudah dilakukan dengan baik dan benar.
Menyikapi hal itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, persoalan HET beras memang tidak mudah, karena ketentuannya mengikuti harga internasional.
Menurutnya, jika harga HET dinaikkan terus, tetapi di luar negeri mengalami penurunan maka hal ini mengorbankan 270 juta warga negara Indonesia.
"Karena biasanya harga HET kita sebenarnya jauh dibandingkan harga internasional yang jauh lebih rendah. Jadi kalau ini harganya naik terus, ini yang dikorbankan rakyatnya," kata Lutfi.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Budi Waseso mengatakan bahwa penggunaan cadangan beras pemerintah (CBP) semakin tidak jelas.
Hal ini dikarenakan pasar utama penyaluran beras dari Bulog, yakni Program Beras untuk Keluarga Sejahtera (Program Rastra) pemerintah telah berganti.
Awalnya, pemerintah membagikan beras kepada masyarakat miskin, kini bantuan sosial yang diberikan berupa uang tunai.
"Persoalannya karena begitu program Mensos rastra jadi BLT dan paket sembako maka CBP ini berhenti. Pasarnya Bulog hilang 2,6 juta ton setahun," kata Budi.
Hal ini membuat bingung Perum Bulog dalam hal pengelolaan CBP. Pemerintah meminta agar Perum Bulog menyerap hasil panen petani hingga 1 juta ton sampai 1,5 juta ton per tahun.
Sementara kebutuhan beras untuk antisipasi bencana alam dan Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) maksimal hanya 850 ribu ton. Di sisi lain, pasar penyaluran beras yang dibeli sudah berkurang banyak dan penugasan tersebut tidak bisa ditolak.
"Itu sebabnya kalau kita mau stok CBP 1,5 juta ton saja pasti berlebihan, walaupun perintah negara kita harus siap serap 1,5 juta ton," ujarnya.