• Kenaikan harga komoditas serta kebijakan lockdown beberapa negara menguntungkan Indonesia, nilai ekspor 2021 melejit.
  • Perdagangan Indonesia ke beberapa negara non-tradisional seperti kawasan Afrika dan Timur Tengah meningkat signifikan.
  • Ekspor Indonesia di tahun depan sangat tergantung pada stabilitas harga komoditas, tantangan serius bagi pemerintah.

Walau masih dalam tekanan pandemi corona, tahun 2021 menjadi cerita manis bagi perkembangan ekspor Indonesia. Tidak hanya mencatatkan nilai transaksi ke luar negeri tertinggi sepanjang sejarah, neraca perdagangan Indonesia juga surplus terbesar sejak merdeka.

Sepanjang 12 bulan, Indonesia menorehkan rekor nilai ekspor sebanyak empat kali yakni di April, Agustus, Oktober, dan November. Data Badan Pusat Statistik di November menunjukkan, nilai ekspor mencapai US$ 22,84 miliar, naik 3,69 % dibandingkan bulan sebelumnya. Angka tersebut juga menumbangkan rekor ekspor di Oktober yang mencapai US$ 22,03 miliar.

Pada periode Januari-November 2021, nilai ekspor Indonesia US$ 209,16 miliar, naik 42,62 % dibandingkan periode yang sama tahun ini. Kinerja ini bahkan sudah jauh melampaui pencapaian sepanjang tahun lalu yang hanya US$ 163 miliar.

Dengan melesatnya nilai ekspor pada periode tersebut, Indonesia pun mencatatkan surplus US$ 34,32 miliar, hampir dua kali dibandingkan pada periode Januari-November 2020 sebesar  US$ 19,52 miliar.

Berkah Komoditas dan Lockdown ke Ekspor Indonesia

Menteri Perdagangan M. Lutfi dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Desember 2021 mengatakan Indonesia diuntungkan oleh supercyle commodity yang terjadi pada tahun ini. Melimpahnya likuiditas karena kebijakan quantitative easing di seluruh dunia membuat harga komoditas melambung .

Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, seiring likuiditas membanjiri pasar, para trader berspekulasi terhadap komoditas sehingga memicu nilainya melambung. Dengan kata lain, kenaikan ekspor komoditas ini lebih dipicu oleh lonjakan harga dibandingkan volume. Hal tersebut tercermin dengan masih terbatasnya volume ekspor komoditas. 

Kondisi ini berbeda dengan booming commodity pada periode 2009-2014, ketika ekspor komoditas didorong oleh peningkatan volume dan harga. "Volume ekspor tidak sekuat tahun sebelumnya karena permintaan global masih rendah di tengah pandemi Covid-19," tutur Andry dalam analisis Econmark, Mandiri Group Researchedisi Desember 2021.

Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) juga memperkirakan ekspor minyak sawit pada tahun ini hanya sekitar 34,44 juta ton, lebih rendah dibandingkan periode 2019 yakni 37,43 juta ton.

Sejumlah harga komoditas andalan ekspor Indonesia memang melonjak tajam pada 2021 yang membuat ekspor Indonesia melambung. Batu bara, tembaga, dan minyak sawit merupakan beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga sangat pesat. 

Harga batu bara melesat ke rekor tertinggi sepanjang sejarahnya di level US$ 269.5 per metric ton di bulan Oktober. Kenaikan dipicu oleh keputusan Cina untuk mengurangi produksi batu bara serta krisis energi yang melanda Eropa dan beberapa negara Asia, seperti India.

Kenaikan harga batu bara ini menyumbang ekspor sangat besar di kelompok  bahan bakar mineral. Transaksi luar negeri bahan bakar mineral pada Januari-November 2021 mencapai US$ 29,6 miliar, naik 90,2 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai tersebut berkontribusi 14,9 % terhadap total ekspor nasional.

"Saat dunia bergulat dengan kekhawatiran terus-menerus mengenai harga komoditas yang meroket, sebaliknya Indonesia menikmati keberuntungan tersebut. Sekitar 56 % ekspor Indonesia merupaakn komoditas dan ini menguntungkan ke nilai ekspor secara keseluruhan," demikian analisis ekonom OCBC Wellian Wiranto.

Sementara itu, harga minyak sawit mencatat rekor tertingginya di level MYR 5.071 per metric ton pada 20 Oktober. Perhatikan grafik pada Databoks berikut ini.


Kenaikan harga disebabkan naiknya permintaan menyusul krisis energi serta ketidakmampuan Malaysia memenuhi pasokan CPO. Kebijakan lockdown di Malaysia berefek pada produksi minyak sawit negara tersebut turun karena jumlah tenaga kerja yang berkurang drastis. Peluang  ini dimanfaatkan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia.

Sepanjang Januari-November, ekspor lemak dan minyak hewan nabati/hewani yang didominasi sawit menembus US$ 29,9 miliar, atau naik 65 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai ekspor tersebut berkontribusi sebesar 15,1 % terhadap total ekspor nasional.

Di luar komoditas, capaian ekspor industri manufaktur juga sangat memuaskan. Nilai perdagangan ke luar negeri untuk produk manufaktur pada Januari-November 2021 mencapai US$ 160 miliar atau 76,51 % dari total ekspor nasional. Pencapaian ini pun di tengah pandemi Covid-19 dan persoalan kelangkaan kontainer.

Angka ini telah melampaui capaian ekspor manufaktur sepanjang 2020 sebesar US$ 131 miliar, bahkan lebih tinggi dari capaian ekspor 2019. Sektor yang mengalami kenaikan di antaranya alas kaki dan garmen. Keduanya diuntungkan oleh kebijakan lockdown di Vietnam, sebagai salah satu supplier utama alas kaki dan garmen.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakri, mengatakan permintaan alas kaki dri Amerika Serikat dan  Amerika Latin-Karibia sangat tinggi. "Cina sebagai eksportir terbesar mengalami penurunan dan menghadapi anti damping di sejumlah negara Amerika Latin," kata Firman, pada webinar mengenai Menembus Pasar Amerika Latin dan Karibia, Oktober lalu.

Di sisi lain, Vietnam yang juga pesaing terberat Indonesia terhambat oleh lockdown yang ketat sehingga ekspor mereka terganggu. Bloomberg melaporkan Kamar Daging dan Industri Eropa di September 2021 telah mengalihkan 18 % pasokan mereka dari Vietnam ke negara lain.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers virtual, Oktober lalu, mengakui ada limpahan permintaan tekstil dari Cina sejak Oktober menyusul krisis energi di negara tersebut.

Ekspor ke Negara Non-tradisional Menggeliat

Saat ini Cina, Amerika Serikat, dan India masih menjadi pasar terbesar untuk Indonesia. Ekspor non-migas ke Cina mencapai US$ 46 miliar pada Januari-November 2021, naik 53,7 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai perdagangan ke Cina berkontribusi 23,24 % terhadap total ekspor nasional.

M. Lutfi mengatakan nilai ekspor ke Cina, Amerika Serikat, Jepang, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Taiwan berkontribusi sekitar 73 % ke total ekspor nasional. Sementara ekspor ke beberapa negara non-tradisional juga meningkat tajam. Sebaliknya, ekspor ke kawasan Eropa terbilang stagan.

Karena itulah, M. Lutfi menegaskan Indonesia akan memfokuskan ekspor ke 10 negara yang menjadi pasar utama dan negara "baru" bagi Indonesia seperti kawasan Afrika.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement