Gelombang Masyarakat Tolak Undang-Undang Minerba
Undang-Undang Minerba masih menyisakan kontroversi. Penolakan dari sejumlah kalangan kerap bermunculan hingga saat ini. Sebagian besar dari mereka melihat aturan di pertambangan itu hanya menguntungkan pengusaha, sebaliknya kurang berpihak kepada warga di banyak daerah.
Yang terbaru, penolakan terhadap undang-undang itu datang dari sidang rakyat yang dilakukan secara virtual, Minggu (31/5) kemarin. Hadir di sana masyarakat dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
“Kami merasa tidak ada keberpihakan pemerintah kepada kami. Lubang tambang dibiarkan, akses jalan petani dirusak, sawah kami dirusak, pemukiman rusak,” kata Kepala Desa Pondok Bakil, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, Yusmanilu. “Pengaduan kami kepada pemerintah tidak dihiraukan.”
Sidang rakyat digelar karena DPR mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). DPR memutuskan UU Minerba dalam rapat paripurna pada Selasa (12/5).
Selain menolak UU Minerba, Yusmanilu menilai pengesahan peraturan itu tidak terbuka dan tidak manusiawi. Sebab, beleid ini diketok dalam situasi pandemi Covid-19 di mana banyak pekerja yang dirumahkan.
(Baca: Polemik RUU Minerba dan Angin Segar bagi Pengusaha Batu Bara)
Hal senada diungkapkan aktivis lingkungan dari Mahasiswa Hukum Pecinta Alam (Mahupala) Universitas Bengkulu Riki Pratama Saputra. Menurutnya, UU Minerba cacat hukum karena tidak ada pembahasan dengan publik yang menunjukkan tidak adanya keterbukaan. Hal ini bisa dinilai bertentangan dengan asas pembentukan perundangan.
Riki juga menyoroti tidak adanya peran DPD RI dalam pembahasan aturan tersebut. Padahal DPD juga memiliki hak karena berkaitan dengan otonomi daerah. “Kami, mahasiswa, dibantu oleh rakyat, akan terus berjuang. Kami menolak UU Minerba karena mendewakan manusia sebagai pusat alam semesta,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Edra Satmaidi mengatakan pembuatan undang-undang harus memperhatikan landasan filosofis dan sosiologisnya, apakah memberikan dampak lebih baik pada masyarakat. Selain itu harus berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM.
Selain itu norma undang-undang harus berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta, BUMD, dan kesempatan yang sama dalam usaha pertambangan. “Harusnya semua keputusan ada pada negara. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam,” kata Satmaidi.
Sidang Warga Kalimantan Tuntut UU Minerba Dibatalkan
Dalam sidang rakyat yang lain, sejumlah warga Kalimantan juga menolak UU Minerba. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan bahwa warga Kalimantan sepakat menuntut perundangan tersebut dicabut.
“Dalam sidang rakyat dengan tema Suara Rakyat Kalimantan yang ditayangkan secara langsung melalui medsos, semua sepakat minta UU Minerba dibatalkan karena menjadi pembuka jalan penghancuran ekologi di Kalimantan,” ujar Rupang melalui rilis di Samarinda, Minggu (31/5).
Berbagai hal yang muncul dalam sidang rakyat secara virtual itu, antara lain pernyataan Taufik Iskandar, perwakilan masyarakat Desa Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Ia menyatakan kerusakan akibat penambangan di wilayahnya sangat kompleks.
(Baca: ICW Sebut Ada Pengusaha Batu Bara di Balik Pengesahan UU Minerba)
Misalnya, limbah yang dibuang ke Sungai Santan menyebabkan polusi air parah, sehingga masyarakat tidak lagi bisa memperoleh air bersih secara gratis. Bahkan, kini warga harus merogoh Rp 200 - 400 ribu untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Sungai itu sempat menjadi sumber penghasilan warga dengan tangkapan udang dan ikan. Mereka bisa mengantongi sedikitnya Rp 300 – 400 ribu dari hasil berburu di sungai.
Lubang-lubang bekas penambangan yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman warga pun menjadi isu yang tidak kunjung ada jalan keluarnya. “Seperti di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, rumah warga dilanda banjir lumpur jika hujan. Bahkan, lubang-lubang bekas tambang yang menganga ini telah memakan korban jiwa,” katanya.
Rahma Wati, orang tua yang harus menanggung kesedihan akibat anaknya menjadi salah satu dari 30 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang tersebut menyesalkan keputusan pemerintah dan DPR yang meloloskan UU Minerba. Pasalnya, produk hukum itu akan memberikan kewenangan sebesar-besarnya kepada perusahaan tambang untuk mengembangkan bisnisnya tanpa mempedulikan aspek sosial, ekonomi, bahkan keselamatan warga sekitar.
Ria Anjani dari Jaringan Advokasi Tambang Provinsi Kalimantan Utara juga meminta pemerintah membatalkan UU Minerba, karena tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dan mengesampingkan kebutuhan masyarakat. Ia menolak penambahan izin penambangan baru serta mendesak agar kasus-kasus hukum di Kalimantan Utara dievaluasi.
Pemberian izin yang tumpang tindih di Kalimantan Utara pun menjadi sumber bencana. Di Kabupaten Malinau, PDAM telah menghentikan distribusi air karena sumber air di sejumlah sungai di kawasan itu tidak bisa disaring. “Masifnya penambangan di Kabupaten Bulungan, menyebabkan laju deforestasi dan pencemaran di laut tidak tertahankan. Tidak hanya penduduk darat yang dirugikan, juga penduduk pesisir,” ucap Ria.
Sebelumnya, kritik juga datang dari ekonom senior Faisal Basri. Ia menilai UU Minerba sebagai upaya untuk menyelamatkan kaum elite di tengah kondisi pandemi corona, yakni menyelamatkan sejumlah kontrak karya yang konsesinya akan berakhir.
“Para elite pesta pora. Di tengah kondisi ini yang diselamatkan duluan adalah bandar tambang batu bara,” kata Faisal dalam webinar Iluni UI, Rabu (13/5). “Kontrak diperpanjang sampai batu bara habis. Mereka tidak sabar menunggu Omnibus Law diundangkan, jadi RUU Minerba secara nekat diundangkan,” ujar Faisal.
Pembelaan Panja RUU Minerba
Wakil Ketua Panja RUU Minerba yang juga Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suprawoto, menyatakan seluruh fraksi di DPR terlibat persetujuan pasal-pasal dalam UU Minerba. Dia membantah proses pembahasan dilakukan tidak transparan tergesa-gesa.
Sugeng berargumen bahwa pembahasan dilakukan sejak DPR periode 2014-2019. Panja pertama dibentuk pada 2015 diketuai Ridwan Hisyam dari Fraksi Golkar. Draf pertama RUU Minerba diusulkan DPR pada 25 Januari 2016 kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah belum memprosesnya sehingga pembahasan tak berjalan.
Presiden Jokowi, kata Sugeng, akhirnya mengirimkan Surat Presiden pada 2018 tentang pendelegasian lima kementerian dengan Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab utama. Kelima kementerian ini kemudian mencermati draf usulan DPR.
(Baca: Ketok Palu, DPR Sahkan RUU Minerba Jadi Undang-Undang)
Pada 25 September 2019, pemerintah memberikan 938 daftar invebtaris masalah kepada DPR. Penyerahan dilakukan pada malam hari pukul 21.20 WIB. Sebab saat itu sudah memasuki masa injury time jabatan DPR dan pembahasan beleid ini mendapat penolakan dari publik yang berujung gelombang aksi reformasi dikorupsi, maka proses dihentikan.
Pembahasan lanjutan saat ini, kata Sugeng, dimungkinkan karena UU Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan pasca-revisi terbatas telah memungkinkan carry over. Hasil rapat Bamus DPR pada Januari lalu juga menyatakan syarat administratif telah terpenuhi. “Kalau ada yang bilang inkonstitusional berarti salah,” kata Sugeng kepada Katadata.co.id.
Selama pembahasan di periode lalu sampai sekarang, DPR mendengar pendapat dari elemen sipil dan ahli. Salah satunya dari Peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana pad 17 April. Begitupun DPR menggelar 39 kegiatan dengan masyarakat sipil. Namun, ia tak merinci kegiatannya dengan siapa saja. “Mohon maaf, kami tidak mengebiri sipil,” ujarnya.