Aspebindo: Kenaikan Royalti Minerba Berpotensi Gerus Kas Perusahaan Tambang

Ringkasan
- DPR mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden, yang dilakukan pada Rapat Paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hukum secara lebih optimal.
- Revisi tersebut mencakup 8 angka perubahan termasuk nama lembaga, tanggung jawab kepada Presiden, komposisi anggota, serta syarat menjadi anggota dengan menambahkan ketentuan mengenai hukuman pidana.
- Perubahan-perubahan juga mencakup penyesuaian istilah pejabat, penambahan rumusan lembaran negara, serta mengatur tentang tugas pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan undang-undang.

Pemerintah telah merampungkan revisi aturan terkait kenaikan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba). Revisi ini mencakup Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM, serta PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho menyebut pelaku usaha perlu melakukan restrukturisasi utang sebagai respons atas kenaikan tarif ini.
"Kenaikan royalti berpotensi menggerus arus kas, sehingga perusahaan perlu restrukturisasi utang, terutama yang berbunga tinggi, melalui refinancing untuk memperpanjang tenor utang dan menurunkan beban bunga," kata Fathul, Kamis (27/3).
Selain itu, efisiensi operasional juga menjadi kunci. Menurut Fathul, perusahaan perlu meningkatkan recovery rate agar seluruh cadangan mineral dapat diekstraksi dengan meminimalkan waste.
"Perusahaan tambang mineral perlu menggeser paradigma dari volume-based ke value-based, yaitu fokus pada penambangan mineral berkadar tinggi terlebih dahulu. Mineral berkadar rendah hanya akan membebani margin saat royalti naik," katanya.
Renegosiasi Kontrak dan Dampak ke Produksi
Fathul juga mendorong perusahaan melakukan renegosiasi kontrak jangka panjang dengan pembeli. "Perusahaan dapat mengajukan revisi harga pada long term contract dengan formula harga seperti HPP plus margin plus variable royalti, agar kenaikan royalti turut ditanggung oleh pembeli," ujarnya.
Meski demikian, Fathul mengakui kenaikan tarif royalti merupakan hak pemerintah sebagai pemilik mining rights. Ia hanya berharap agar besaran kenaikan tetap memperhatikan keberlanjutan dan keekonomian usaha.
Fathul memprediksi kenaikan tarif royalti ini akan memicu tantangan, terutama bagi perusahaan tambang batubara dan mineral. Namun, dia memastikan perusahaan akan tetap berproduksi sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 yang telah disetujui Kementerian ESDM, yaitu sebesar 917,16 juta ton untuk batubara dan 220 juta ton nikel ore.
Dia memperkirakan bakal terjadi perlambatan produksi sekitar dua bulan pertama setelah kenaikan royalti, karena perusahaan perlu melakukan penyesuaian operasional dan komersial, termasuk kenaikan harga jual yang mengurangi permintaan. "Tapi biasanya akan kembali normal setelah penyesuaian tersebut," ujarnya.