Kami Tidak Ingin Moratorium PLTS Seperti Vietnam

Muchamad Nafi
5 April 2023, 12:49
Evy Haryadi - Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Kami Tidak Ingin Sampai Moratorium PLTS Seperti Vietnam

Langkah transisi energi untuk membantu bumi dari efek negatif pemanasan global terus bergema. Satu di antaranya dengan mempercepat pengembangan sumber listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT), seperti pembangkit tenaga surya atap atau PLTS Atap.

Sejumlah kalangan menilai Vietnam masuk jajaran terdepan negara yang mengembangkan pembangkit listrik di EBT. Pada tahun lalu, pembangkit berbahan batu bara di sana tinggal 39 % dari total produksi listrik Vietnam yang mencapai sekitar 80 giga watt.

Selebihnya, hidro pembangkit air menyumbang 36 %. Lalu, sumber baru yang mencakup solar farm, PLTS Atap, energi angin, dan hidro mini berkontribusi 14 %. Adapun turbin gas menghasilkan 11 % listrik.

Angka-angka tersebut memang terbilang besar dibandingkan laju di Indonesia. Hingga akhir 2022, EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 14,11 %. Sebesar 67 % pembangkit masih berbahan bakar batu bara yang menghasilkan emisi besar.

Pemerintah Negeri Naga Biru itu memang sedang giat mengembangkan pembangkit EBT. Di PLTS, misalnya, mereka memberikan aneka insenstif fiskal. Melalui skema feed ini tariff, Vietnam Electricity (EVN), perusahaan seterum negara itu, juga diperintahkan untuk membeli listrik dari pembangkit-pembangkit solar swasta, termasuk surya atap atau roof top, dengan harga tinggi.

Namun, kebijakan tersebut berdampak pada suplai listrik yang berlebih. “EVN kelebihan pasokan yang persis sama dengan PLN di Jawa-Bali,” kata Evy Haryadi, Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT Perusahaan Listrik Negara saat wawancara dengan Katadata bersama Majalah Tempo dan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Awal tahun ini, direksi dan komisaris PLN sudah dua kali menyambangi Vietnam. Mereka bertukar pengalaman dengan EVN mengenai pengembangan EBT, terutama solar farm dan PLTS Atap.

Banyak pihak menilai transisi energi di Vietnam cukup maju dan layak dicontoh termasuk oleh Indonesia. Bagaimana setelah mengunjungi dan melihat perkembangan di Vietnam?

Tujuan dua kunjungan PLN ke Vietnam, Pak Dirut dan saya, untuk mencari fakta yang riil. Ternyaat, EVN mengalami kelebihan pasokan yang persis sama dengan PLN di Jawa-Bali.

Mereka melakukan inisiatif bauran energi hanya berdasarkan PDP, plan of development plant, atau RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) di kita, dengan insentif feed in tariff tanpa melihat dampak yang muncul. Mereka menyadari setelah secara korporasi ada masalah, apalagi tidak punya buffer seperti PLN yang disubsidi oleh pemerintah.

Yang sangat mengejutkan, di triwulan satu 2023, pertumbuhan permintaan listrik mereka minus. Tarif listrik rata-rata di Vietnam delapan sen. Mereka membeli feed in tariff 9,2 sen untuk pembangkit angin dan 9,8 sen untuk pembangkit solar, jadi membeli lebih mahal. Satu-satunya dukungan pemerintah yaitu kenaikan tarif, yang tiga tahun ini sudah tidak mereka dapatkan.

Sehingga mereka melakukan langkah-langkah independen korporasi. Pertama, kebijakan ekspor listrik ke EVN tidak dibayar lagi. Lalu sudah ada draf PDP 8. Di situ, mereka menyetop selama transisi ini tidak membangun pembangkit solar. PV rooftop juga dibatasi.

Dengan situasi Vietnam seperti itu, apa yang bisa jadi pelajaran bagi Indonesia?

Dulu, ini ingin ditiru oleh pemerintah kita dengan feed in di Perpres, dengan net meterring di PV rooftop. Bahkan, kita lebih agresif lagi. Kalau pemerintah Vietnam hanya menerima ekspor, kita malah memberikan storage-nya.

Kalau pemerintah memaksa PLN untuk menerima storage, artinya pelanggan benar-benar tidak butuh baterai. Pelanggan itu sudah menumpang di infrastruktur PLN tanpa bayar sama sekali. Kalau EVN hanya kehilangan revenue-nya di siang, malam masih beli dari EVN. Itu pun mereka sudah bleeding.

Menurut PLN, semestinya seperti apa kebijakan mengenai pembangkit surya atau atap?

Kami menganggap kebijakan PV rooftop ini tidak fair. Kami minta untuk diubah. Alhamdulillah sudah mau ada revisi. Di revisi ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Vietnam bahwa mereka tidak membayar ekspor. Kalau memakai listrik untuk sendiri ya silakan, tapi jangan mengekspor kelebihannya ke PLN.

Sebab ketika meng-ekspor akan menimbulkan berbagai masalah secara power system. Kalau transmisi tidak cukup, beban tidak bisa diserap secara lokal, ya harus dikirim ke tempat lain. Ketika dikirim ke tempat lain itu tergantung kondisi transmisinya.

Jadi cukup kompleks dalam menerapkan PLTS ketika dimasukkan dalam jaringan listrik PLN?

Energi matahari itu probalility. EVN memang membuat weekly forcest, tapi akan setepat apa dengan yang dia buat. Sekarang mataharinya tinggi, tiba-tiba hilang. Dapat dibayangkan tingkat kerumitannya secara teknikal.

Kedua, banyak infrastruktur yang harus disiapkan: control center harus siap memprediksi dengan baik. Ini hal yang baru buat orang operasional. Butuh pelatihan, butuh tools. Dan itu pasti butuh investasi tambahan.

Sehingga transisi energi ini butuh sangat bijaksana. Kita tidak ingin mengulangi yang terjadi pada 2019 ada padam total di Jawa Bali. Kalau kita belum ada kemampuan dan infrastruktur untuk meramalkan renewaable supply dengan tepat, itu bisa menimbulkan ketidaksiapan.

Misalnya, kita meramalkan matahari akan sangat banyak. Karena sangat percaya diri, kita tidak menyiapkan batu bara, gas, atau BBM. Ketika dia tiba-tiba hilang, kita tidak punya energi primer buat pengganti. Itu yang dinamakan balancing cost, ada harga yang harus disiapkan untuk suatu utility.

Di PLN, berdasarkan apa prioritas penggunaan sumber listrik saat ini?

Ada yang harus berjalan. Pertama, run of river. Ini hampir sama dengan matahari dan angin. Run of river itu tidak punya waduk, hanya disodet sedikit di sungai. Ada atau ada tidak ada hujan, pembangkitnya tetap beroperasi. Seperti angin.

Kedua kontrak gas, mau pakai atau tidak, ya, tetap bayar. Kami selalu habiskan karena sudah kontrak. Hanya, kemudian kami review setiap tahun, bisa ada yang digeser untuk tahun depan. Harus punya fleksibilitas, itu ada di dalam kontrak. Misalnya, semua perusahaan tambang batu baru mau ekspor. Atau tiba-tiba tambang kebanjiran. Kami harus bikin kontingensi. Air di waduk juga ada forecest-nya, tapi tiba-tiba kemarau. 

Apa negara-negara lain juga menghadapi hal yang sama dalam EBT ini? Ada contoh negara yang bisa menjadi benchmark?

Semua pasti akan menghadapi masalah yang sama. Mereka akan improve sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Misalnya, hanya untuk forecasting renewable solar and wind farm, Vietnam butuh empat tools. Pertama dari pembangkit, kedua data dari dua vendor internasional. Lalu in house forecast search machine, learning AI.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...