Transformasi digital turut mengubah cara transaksi masyarakat ke arah nontunai atau cashless. Bank Indonesia (BI) mencatat volume dan nilai transaksi uang elektronik di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun ke belakang.
Lonjakan tertinggi tercatat dalam rentang 2017-2018. Secara volume, pertumbuhan sebesar 209,8% dari 943,3 juta transaksi menjadi 2,922 miliar. Nominalnya tumbuh 281,4% dari Rp 12,4 triliun menjadi Rp 47,2 triliun.
Survei iPrice yang bekerja sama dengan Jakpat menemukan 26% masyarakat telah menggunakan e-wallet (dompet digital)/e-money (uang elektronik) untuk berbelanja daring. Angka ini tepat di bawah metode transfer bank. Dengan kata lain, masyarakat kini semakin ramah dengan kedua jenis alat pembayaran digital tersebut.
Pertumbuhan pesat transaksi nontunai tak lepas dari kian banyaknya penyedia layanan transaksi digital dari perbankan, operator seluler, dan perusahaan rintisan (startup) dalam beberapa tahun ke belakang. Mereka terus memperkenalkan produknya ke publik. BI mencatat hingga 27 Mei 2020 terdapat 51 penyelenggara uang elektronik di negeri ini.
Begitu juga tak lepas dari peran pemerintah yang terus mengajak masyarakat beralih ke pembayaran nontunai. Hal ini karena pembayaran nontunai lebih hemat, efisien, dan memiliki jangkauannya lebih luas ketimbang secara tunai.
Ditilik lebih dalam, konsumen lebih sering menggunakan e-wallet ketimbang e-money. Hal ini tercermin dari hasil riset Katadata Insight Center (KIC) bahwa 11,1% responden menggunakan Dana setiap hari. Dana adalah salah satu jenis e-wallet yang beredar di masyarakat.
Sementara, konsumen yang memanfaatkan e-money setiap hari berada di urutan kedua dengan 9,1%. Riset ini menggolongkan e-money pada merek Flazz BCA, e-money Mandiri, dan Brizzi.
Konsumen yang mengaku sangat jarang menggunakan e-money sebesar 27,3%. Angka ini terbesar kedua, tepat di bawah Shopee Pay yang merupakan salah satu jenis e-wallet.
Sumber data lain, dari iPrice dan App Annie, menyatakan Gopay masih menjadi pemimpin sebagai dompet digital teraktif. Pengguna aktif bulanannya selalu di tingkat teratas sejak kuartal II-2019, masih tak tergeser hingga kuartal II-2020.
Guna menjelaskan kecenderungan tersebut, penting mengetahui karaterisitik e-money dan e-wallet. Layanan e-money termasuk dalam perbankan dan operator seluler. Konsumen dapat memanfaatkan fasilitas tersebut melalui sebuah kartu yang berbasis cip.
Keunggulannya, masyarakat bisa mendapatkannya dengan mudah dan tanpa registrasi. Kartu e-money biasanya tersedia di gerai swalayan dan pengguna dapat mengisinya dengan saldo maksimal Rp 2 juta. Kemudahan ini membuatnya mampu menjangkau masyarakat secara luas. Segmentasi penggunanya pun dari luar jaringan (luring) dan daring.
Kelemahan e-money adalah tak mempunyai fitur keamanan pendukung. Sehingga ketika kartu e-money hilang, saldo di dalamnya pun turut lenyap. Orang lain yang bukan pemiliknya pun bisa dengan mudah menggunakannya tanpa proses verifikasi lebih lanjut.
Salah satu contoh penggunaan e-money adalah untuk membayar transportasi umum, sebagaimana tercermin dalam riset KIC. Misalnya, membayar tiket TransJakarta dan Commuter Line (KRL) Jabodetabek yang kini telah terintegrai dengan e-money.
Senior Wakil Presiden Transaksi Perbankan dan Penjualan Retail Bank Mandiri Thomas Wahyudi menyatakan, e-money Mandiri berbasis cip akan terus bertumbuh. Apalagi penggunaannya didominasi pada sektor transportasi dengan pangsa pasar hingga 91% dari total penggunaan e-money Mandiri, seperti dilansir dari Kontan.
Sementara, layanan e-wallet berbentuk aplikasi yang berbasis server. Keunggulannya, keamanan lebih terjamin lantaran pengguna wajib meregistrasi diri lebih dulu. Limit saldo pun lebih besar hingga Rp 10 juta.
Segmentasi pengguna e-wallet lebih terjaring. Hanya konsumen yang terhubung dengan internet dapat memanfaatkannya. Sebab e-wallet hanya berguna ketika bertransaksi secara daring dan ketika ponsel dalam keadaan hidup. Mayoritas konsumen menikmati layanan pembayaran digital ini ketika berbelanja secara daring, seperti dalam hasil riset KIC.
Riset KIC menyatakan, pertimbangan utama konsumen memilih layanan pembayaran digital adalah keamanan. Sebanyak 62,2% konsumen menilai faktor ini sangat penting. Tak heran jika e-wallet yang memiliki fitur keamanan pendukung lebih cenderung dipilih ketimbang e-money.
Meski demikian, risiko keamanan pada e-wallet juga masih ada. Misalnya penipuan bermodus permintaan koden one time password (OTP) yang sebenarnya adalah fitur keamanan tambahan di e-wallet. Begitu juga melalui modus yang memanfaatkan fitur pengalihan panggilan (call forward).
Kerentanan tersebut menjelaskan pula untuk hasil penilaian publik terhadap keamanan penggunaan e-wallet dalam riset KIC. Bahwa, 15% menyatakannya aman. Angka ini lebih rendah dari persepsi keamanan e-money yang 17,2%. Bisa dikatakan publik memang lebih tertarik menggunakan e-wallet, tapi masih menyoroti kerentanan keamanannya.
Terlepas dari faktor keamanan, konsumen memilih layanan yang sederhana dan praktis. Hal ini sebagaimana dalam riset KIC yang menyatakan, responden menilai kemudahan penggunaan (56,8%), kenyamanan (54,6%), dan kepraktisan (53,3%) sangat penting pada sebuah layanan pembayaran digital.
Keunggulan tersebut juga dimiliki e-wallet. Misalnya Gopay dan OVO yang terintegrasi langsung ke aplikasi ojek dan taksi daring. Lalu, Shopee Pay yang berguna untuk pembayaran belanja daring dan utilitas lain dalam satu aplikasi. Hal ini yang tak dimiliki e-money.
Selain itu, e-wallet memiliki banyak promo yang juga menjadi preferensi konsumen dalam menggunakan layanan pembayaran digital. Misalnya promo cashback untuk transaksi Gofood menggunakan Gopay. Penyedia e-money sebetulnya juga memiliki promo, seperti BCA yang memberi diskon bagi pemegang kartu Flazz.
Berkaca dari data-data tersebut, penyedia layanan pembayaran digital penting berinovasi yang sesuai dengan preferensi konsumen. Dalam hal ini adalah platform yang mampu menghubungkan beragam layanan. Inovasi ini pun berpeluang membuat para penyedia layanan pembayaran digital semakin ekspansif menjangkau pelanggan.
Pemerintah pun perlu semakin mendukung ekosistem digital yang telah terbentuk. Baik dari sisi keamanan, maupun industri. Hal ini akan menjadi hubungan yang saling menguntungkan bagi konsumen, penyedia layanan, dan pemerintah.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi