Advertisement
Analisis | Bagaimana Peluang Telemedicine Benahi Layanan Kesehatan RI? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Bagaimana Peluang Telemedicine Benahi Layanan Kesehatan RI?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Telemedicine berpotensi mengatasi masalah layanan kesehatan di Indonesia. Banyak dokter yang bergabung ke layanan ini. Namun, masih ada sejumlah hambatan mengembangkan telemedicine.
Dimas Jarot Bayu
19 November 2020, 09.49
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Era digital membawa inovasi bagi pelayanan kesehatan melalui teknologi telemedicine. Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan aneka persoalan layanan kesehatan selama ini di Indonesia, khususnya saat pandemi Covid-19.

Salah satu masalah utama pelayanan kesehatan di Indonesia adalah jumlah dokter yang masih minim. Dengan penduduk yang besar, jumlah dokter per kapita baru mencapai 0,4 per 1.000 penduduk atau empat per 10 ribu penduduk. Masih di bawah saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang satu per 1.000 penduduk atau sepuluh per 10 ribu penduduk tiap negara.  

Rasio dokter tersebut merupakan yang terendah kedua di Asia Tenggara. Singapura menjadi yang tertinggi di kawasan dengan 2,3 per 1.000 penduduk. Selanjutnya Brunei Darussalam dengan 1,8 per 1.000 penduduk dan Malaysia 1,5 per 1.000 penduduk.  

Persebaran dokter di Indonesia pun belum merata. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019, lebih dari separuh jumlah dokter masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rinciannya, 11.365 dokter di Jakarta, 10.802 dokter di Jawa Timur, 9.747 dokter di Jawa Tengah, 8.771 dokter di Jawa Barat, dan 3.126 dokter di Banten.

Masalah lain adalah rasio tempat tidur rumah sakit per kapita di Indonesia baru 1,2 per 1.000 penduduk. Meskipun sudah melampaui standar WHO yang 1 per 1.000 penduduk, rasio itu masih lebih rendah dari negara Asia Tenggara lain. Timor Leste memiliki 5,9 tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk, Brunei Darussalam 2,85 per 1.000 penduduk, Vietnam 2,8 per 1.000 penduduk, Singapura 2,4 per 1.000 penduduk, Thailand 2,2 per 1.000 penduduk, Malaysia 2 per 1.000 penduduk, dan Laos 1,5 per 1.000 penduduk.   

Di tengah berbagai persoalan tersebut, kehadiran telemedicine menjadi angin segar bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Telemedicine dapat memperluas jaringan para dokter dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat yang ingin berkonsultasi terkait penyakitnya tanpa terbatas jarak dan wilayah. Masyarakat cukup mengaksesnya melalui internet.  

Telemedicine juga mampu memangkas waktu menunggu di rumah sakit. Laporan Oxford Bussiness Group bersama Halodoc mencatat, pasien biasanya harus menunggu rata-rata empat jam untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Lewat telemedicine, waktu tunggu tersebut dipangkas hanya menjadi sekitar 35 menit.

Lebih lanjut, telemedicine juga membuat layanan kesehatan menjadi lebih terjangkau bagi 60% penduduk Indonesia yang memiliki pendapatan sebesar Rp  635 ribu -  3,5 juta per bulannya. Artinya, ada 162 juta penduduk Indonesia yang akan terbantu dengan kehadiran telemedicine.

Saat ini telah cukup banyak dokter yang bergabung ke layanan telemedicine. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat 21.500 dokter umum dan 4.500 dokter yang tergabung di aplikasi telemedicine Alodokter. Lalu, 12.000 dokter umum dan 8.000 dokter spesialis tergabung di Halodoc.

Di aplikasi Klik Dokter, ada 9.000 dokter umum dan 2.000 dokter spesialis yang tergabung. Kemudian, 100 dokter umum dan 1.000 dokter spesialis yang bergabung di Aido Health. Sedangkan di Good Doctor ada 1o ribu mitra dokter umum dan 2.500 dokter spesialis yang tergabung.

Pengguna telemedicine pun semakin banyak di tengah pandemi Covid-19. Vice President of Marketing Halodoc, Felicia Kawilarang mengatakan, selama kuartal II 2020 telah lebih dari 20 juta orang memanfaatkan platformnya. Secara umum pengguna layanannya di Indonesia meningkat 10 kali lipat.

“Sepanjang kuartal II 2020, ada tiga besar kategori layanan konsultasi dokter dengan penggunaan terbanyak, yakni konsultasi umum, kulit, dan anak. Fitur yang paling sering digunakan di Halodoc adalah Chat with Doctor,” kata Felicia kepada Katadata.co.id, Jumat (10/7).

Bukan tidak mungkin ke depannya semakin banyak dokter yang bergabung ke telemedicine dan masyarakat pun lebih banyak menggunakannya. Sekaligus menunjukkan titik cerah bagi perkembangan teknologi ini ke depannya.

Walau demikian, perkembangan telemedicine tetap memiliki tantangan. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 196,71 juta orang. Artinya, penetrasi internet di Indonesia masih sekitar 73,7% dari total populasi.

Penetrasi internet di Indonesia pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yakni 56,4%. Untuk di Sumatera sebesar 22,1%, Sulawesi 7%, Kalimantan 6,3%, Bali dan Nusa Tenggara 5,2%, serta Maluku dan Papua 3%.

Kemudian, regulasi yang mengatur soal telemedicine belum mencukupi. Sejauh ini, aturan soal telemedicine merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019. Dalam aturan tersebut, persyaratan legal seorang dokter melakukan praktik konsultasi daring kepada pasiennya masih abu-abu.

Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 74 Tahun 2020 lebih jelas menyatakan bahwa dokter yang bisa melakukan praktik konsultasi daring harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Namun, konteksnya hanya dalam lingkup darurat pandemi corona.

Tantangan adalah layanan telemedicine lebih banyak buatan startup kesehatan ketimbang rumah sakit. Padahal, survei Inventure bersama Alvara mencatat, 95,4% responden menyatakan setuju bahwa rumah sakit harus menyediakan layanan telemedicine. Adapun, 71% responden menyatakan lebih percaya layanan kesehatan digital milik rumah sakit atau klinik daripada milik startup kesehatan.

Managing Partner Inventure menyatakan, kepercayaan terhadap layanan kesehatan digital dari rumah sakit karena masyarakat menganggapnya telah memiliki ekosistem lebih baik dari segi fasilitas dan keahlian dokter. Layanan rumah sakit juga sudah teruji dan memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Lia Gardenia mengatakan, rumah sakit belum dapat mengadopsi secara luas layanan telemedicine karena BPJS Kesehatan belum menanggungnya.

“Sementara 90% pasien rumah sakit menggunakan BPJS, makanya layanan ini juga belum maksimal,” kata Lia dalam webinar Indonesia Industry Outlook 2021, Rabu (4/11).

Di luar BPJS Kesehatan, aplikasi telemedicine yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi swasta masih sedikit. Salah satunya Halodoc yang bisa menggunakan asuransi dari FWD, AXA Mandiri, AXA Mandiri Corporate Solution, Allianz, Allianz-Mensa, Allianz-Gojek, Bumiputera, Medicilin, dan Cigna. Padahal, berdasarkan laporan Oxford Bussiness Group bersama Halodoc, setengah dari 23% penduduk berpendapatan lebih dari  Rp 3,5 juta per bulan menggunakan asuransi ketika berobat.

Atas dasar itu, perlu sejumlah perbaikan demi penerapan layanan telemedicine yang lebih luas dan optimal. Pemerintah harus menggenjot penetrasi internet hingga ke pelosok Indonesia dan menyusun aturan yang lebih rigid soal penerapan telemedicine.

Terkait minimnya penerapan telemedicine oleh rumah sakit, PERSI berharap pemerintah melonggarkan penggunaan BPJS Kesehatan dalam layanan telemedicine. Apalagi, jumlah pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2014 jumlahnya 133,4 juta orang dan meningkat menjadi 156,79 juta orang setahun setelahnya.

Jumlah peserta BPJS Kesehatan kembali meningkat mencapai 171,94 juta orang pada 2016. Setahun setelahnya, jumlahnya menjadi 187,98 juta orang. Pada 2018, jumlahnya menjadi 208,05 juta orang dan naik lagi menjadi 224,15 juta orang pada tahun lalu.

Di sisi lain, layanan telemedicine juga perlu mempertimbangkan kerja sama dengan pihak asuransi swasta. Dengan demikian, jumlah pengguna layanan telemedicine bisa semakin meningkat ke depannya dan pelayanan kesehatan di negeri ini lebih memadai. 

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi