Perekonomian terpuruk akibat pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepuluh dari 17 lapangan usaha tumbuh negatif pada kuartal III-2020. Yang paling terpuruk adalah transportasi dan pergudangan sebesar minus 16,70% (YoY). Disusul perdagangan, reparasi mobil dan motor yang terkontraksi 5,03% (YoY).
Kondisi tersebut membuat pelaku usaha mengambil langkah efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi pegawai, seperti halnya dalam hasil survei World Economic Forum (WEF) pada Oktober lalu. Tercatat 41,7% perusahaan di Indonesia yang mengambil langkah tersebut.
Jumlah pengangguran pun meningkat. BPS mencatat 2,56 juta orang pengangguran baru per Agustus 2020. Lalu, 760 ribu orang bukan angkatan kerja menganggur dan 1,77 juta orang sementara tidak bekerja. Sehingga, total pengangguran menjadi 9,77 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 7,07%).
Secara sektoral, industri pengolahan paling banyak mengurangi tenaga kerja dengan 1,72 juta orang. Disusul sektor kontruksi (610 ribu orang), jasa pendidikan (390 ribu orang), administrasi pemerintah (380 ribu orang), jasa keuangan (220 ribu orang), jasa perusahaan (140 ribu orang), dan pertambangan dan penggalian (80 ribu orang).
Sektor lain yang tercatat mengurangi pegawai adalah transportasi dan pergudangan sebanyak 70 ribu orang, pengadaan listrik dan gas (60 ribu orang), akomodasi dan makan/minum (20 ribu orang), pengadaan air (10 ribu orang), dan real estat (10 ribu orang).
Tak seluruh pekerja yang terdampak covid-19 patah arang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak dari mereka beralih profesi menjadi petani, pekebun, dan nelayan. Tercermin dari bertambahnya jumlah pekerja di sektor tersebut sebanyak 2,8 juta orang menjadi 38,2 juta orang.
Jumlah tersebut paling tinggi dibandingkan sektor lain yang juga mengalami peningkatan serapan tenaga kerja. Sektor perdagangan besar dan eceran yang berada di tempat kedua hanya menyerap 0,54 juta pekerja baru. Lalu, jasa kesehatan dan kegiatan sosial menyerap 0,03 juta pekerja baru. Sementara informasi dan komunikasi menyerap 0,01 juta pekerja baru.
Kecenderungan beralih profesi menjadi petani saat krisis bukan hal baru. Pada krisis moneter 1998, pekerja di sektor ini meningkat 4,6 juta orang. Pada krisis keuangan global 2008 juga meningkat, meskipun hanya 125.232 orang. Hal ini lantaran dampak krisis 2008 tersebut tak begitu parah ke Indonesia.
“Kalau setiap krisis, Indonesia itu selalu orang balik ke sektor pertanian,” kata Wamenkeu Suahasil Nazara dalam dialog virtual bersama Staf Menteri Keuangan Masyita Crystallin pada Kamis (18/6).
Suahasil menjelaskan, kecenderungan itu lantaran masyarakat yang bekerja di kota kembali ke desa ketika krisis ekonomi terjadi. Mereka pun kembali ke profesi lamanya sebagai petani. Menurutnya, sektor pertanian adalah “seperti safety net (jaring pengaman).”
“Pulang saja ke daerah perdesaan, di sana entah gimana pokoknya ada yang dikerjakan,” kata Suahasil.
Sebaliknya, menurut Suahasil, sektor pertanian kelebihan tenaga kerja ketika kondisi ekonomi sedang normal. Membuat para pekerjanya banyak berbondong ke kota dan beralih profesi. Hal ini menjelaskan data jumlah pekerja sektor ini yang terus menurun dalam delapan tahun terakhir dan mencapai titik terendah pada Agustus 2019 sebesar 35,45 juta orang. Selama waktu itu tak terjadi krisis ekonomi di Indonesia.
Meski demikian, sejumlah perosalan mengintai di balik peningkatan jumlah petani saat krisis akibat Covid-19. Pertama, lahan sawah kian menyusut. BPS mencatat luas lahan baku sawah menurun dari 8,1 juta hektar pada 2015 menjadi 7,5 juta hektare empat tahun setelahnya.
Kedua, upah sektor pertanian, perkebunan, dan perinkanan turun 5,95% akibat pandemi Covid-19. Menjadi yang turun kedelapan terbesar dari seluruh lapangan usaha. Rata-rata upah pekerja di sektor tersebut sebesar Rp 1.907.188 per bulan atau kedua terendah dari 12 lapangan pekerjaan utama yang ada. Artinya, sektor ini belum mampu sepenuhnya menjadi bantalan ekonomi dalam masa resesi.
Minimnya kesejahteraan petani di kala pandemi pun tergambar dari nilai tukar petani (NTP) yang sempat menyentuh titik terendah pada Mei 2020 menjadi 99,47. Penyebabnya adalah penurunan indeks harga yang diterima petani (IT) lebih besar dari harga yang dibayar petani (IB). IT menurun 0,86% dan IB turun 0,01%. Petani terbilang sejahtera jika NTP menyentuh 100.
Maka, pemerintah perlu memperbaiki berbagai persoalan tersebut agar sektor pertanian benar-benar bisa menjadi bantalan ekonomi kala krisis. Begitu juga meningkatkan produksi pangan dalam negeri yang sedang menurun. Produksi padi, misalnya, hanya 45,45 juta ton gabah kering giling sepanjang Januari-September 2020. Menurun 1,49 juta ton atau 3,17% dari periode sama tahun lalu.
Peningkatan produksi akan berdampak pada penurunan rasio ketergantungan impor pangan yang masih cukup tinggi. Misalnya untuk komoditas kedelai yang meningkat dari 72,55% pada 2018 menjadi 88,12% setahun setelahnya, berdasarkan laporan SMERU Research Institute.
Khusus masalah lahan baku sawah, pemerintah telah menginisiasi pembuatan lumbung pangan terintegrasi atau food estate dengan lahan seluas 164,6 ribu hektare di Kalimantan Tengah dan 30 ribu hektare di Sumatera Utara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap, lumbung pangan tersebut dapat menghasilkan komoditas yang terdiversifikasi, yaitu mulai dari padi, buah-buahan, hingga ikan."Kita harapkan hasilnya bukan hanya padi, tapi ada jeruk dan kelapa, plus bawang merah," kata Jokowi di lumbung pangan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (8/10).
Pemerintah juga dapat menggunakan skema inclusive closed loop untuk menjaga ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. Dalam skema ini, petani tak hanya terhubung dengan pemerintah saja, namun dengan lembaga keuangan, perusahaan, hingga retail. Tujuannya adalah sinergi seluruh mata rantai pertanian agar menciptakan efisiensi dan peningkatan kualitas komoditas.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi