Advertisement
Analisis | Mengapa Indonesia Belum Mencapai Puncak Pandemi Covid-19? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Indonesia Belum Mencapai Puncak Pandemi Covid-19?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dan terlihat belum mencapai puncaknya. Sengkarut berbagai persoalan menyebabkan sulitnya memprediksi puncak pandemi dan melandaikan kurva kasus pagebluk tersebut.
Author's Photo
11 Desember 2020, 16.38
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Sembilan bulan sudah Covid-19 mewabah di Indonesia sejak pemerintah mengumumkan dua kasus pertama pada Maret tahun ini. Selama itu jumlah kasus terus bertambah dan kurva belum menunjukkan tanda melandai. Membuat puncak pandemi belum pasti.

Pada 3 Desember 2020, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Indonesia mencatatkan rekor baru tambahan kasus Covid-19 harian sebanyak 8.369. Total kasus virus corona saat itu mencapai 557.877 dengan 77.989 masih berstatus aktif.

Hari-hari setelah itu tambahan kasus Covid-19 harian selalu di atas 5.000. Pada 9 Desember 2020, tambahan kasus harian sebanyak 6.058. Total kasus pun meningkat menjadi 592.900 dengan 87.284 masih berstatus aktif. Angka positivity rate sebesar 19,9%, dan jauh lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang 5%.   

Perkembangan tersebut tak seperti sejumlah negara lain yang telah melewati gelombang kedua pandemi Covid-19, bahkan ada yang tengah bersiap menghadapi gelombang ketiga. Singapura, misalnya, telah melewatinya pada April 2020. Lalu, Korea Selatan telah melewatinya pada Juni.

Di Eropa, negara yang telah melewati gelombang kedua antara lain Inggris pada September dan Prancis, Italia, serta Jerman pada Oktober.

Kondisi Covid-19 nasional kiwari pun tak seperti prediksi puncak dan akhir pandemi di Indonesia oleh delapan lembaga beberapa waktu lalu. Beberapa di antaranya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Singapore University of Technology and Design, Ikatan Alumni Program Studi Matematika Universitas Indonesia (Iluni Matematika UI), Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Badan Intelijen Negara.

Prediksi akhir pandemi
Prediksi akhir pandemi (Katadata)

Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi?

Hampir seluruh lembaga tersebut memasukkan faktor intervensi pemerintah dalam menangani Covid-19 ke prediksinya. Intervensi tersebut meliputi penerapan protokol kesehatan sampai 3T (tracking, tracing, dan testing).

Salah satu dari tiga skenario dari Iluni Matematika UI, misalnya, menyatakan bahwa puncak pandemi pada 4 Juni jika belum ada kebijakan tegas dan strategis dari pemerintah utuk mengurangi interaksi antarmanusia per 1 April. Akhir pandemi dalam skenario ini antara pengujung Agustus dan awal September.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 31 Maret 2020. Namun, tak semua daerah secara otomatis bisa melakukan kebijakan tersebut. PSBB bisa berlaku setelah mendapat persetujuan dari Kementerian Kesehatan dengan mempertimbangkan tingkat kerawanan Covid-19.

Hal itu membuat pembatasan interaksi antarmanusia tak serempak di seluruh Indonesia. DKI Jakarta misalnya, mendapat persetujuan melakukan PSBB pada 6 April 2020 dan memulainya empat hari setelahnya. Saat ini, DKI Jakarta masih menerapkan PSBB transisi jilid II.

Namun, Jawa Timur yang memiliki total kasus nomor dua nasional setelah Jakarta baru mendapat persetujuan pada 21 April. Itu pun hanya untuk tiga kabupaten/kota, yakni Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Masa PSBB di ketiga wilayah tersebut pun telah berakhir pada 8 Juni lalu.   

Selain itu, pelaksanaan 3T antardaerah masih timpang. Data rasio lacak isolasi (RLI) Covid-19 dari KawalCovid-19 per 8 Desember 2020, misalnya, menunjukkan Kalimantan Barat yang tertinggi dengan 8,05. Angka itu menunjukkan lebih kurang delapan orang kontak erat terlacak dari setiap kasus Covid-19.

Sementara itu, RLI banyak provinsi lain jauh di bawah itu, bahkan ada yang nol seperti Bali dan Kepulauan Riau yang berarti tak melakukan pelacakan sama sekali. Rata-rata RLI nasional pun hanya 1,62. Padahal, idealnya pelacakan mencapai 30 orang per kasus positif.

Tes Covid-19 mingguan di Indonesia pun belum memenuhi batas minilam dari WHO sebanyak 1.000 orang per 1 juta penduduk. Data 27 November-3 Desember 2020 tercatat hanya 960 orang per 1 juta penduduk. Tes sangat penting untuk mengetahui jumlah kasus positif dan menjadi pintu masuk pelacakan yang lebih massif.

Permasalahan bertambah karena pemerintah terlalu cepat menerapkan adaptasi kebiasaan baru (AKB) pada Juni lalu, saat kurva kasus Covid-19 belum melandai. Pergerakan masyarakat pun tak terbendung, ketika cuti bersama akhir Oktober 2020. Trennya berlanjut hingga November lalu. Mobilitas masyarakat di stasiun transit sebesar -29,3%. Meski masih di bawah normal (0%), namun angka itu menjadi yang tertinggi sejak Maret lalu.

Pemerintah mengambil keputusan tersebut dengan dalih menjaga pijakan “gas dan rem” antara ekonomi dan penanganan kesehatan. Dalih pemerintah adalah untuk tetap menjaga perekonomian dan menghindari krisis ekonomi yang semakin dalam.  

“Ya susah ini, apalagi di negeri seperti kita ini yang kebijakannya terus berubah. Jadi kita enggak tahu kapan (pandemi) berakhir,” ujar pakar epidemiologi Universitas Airlangga Windhu Purnomo, seperti dikutip dari Kompas.com.

Pemerintah pun seperti kecolongan mengantisipasi kerumunan massa saat kedatangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Riziq Shihab di Bandara Soekarno-Hatta pada 10 November lalu. Begitu juga pada kerumunan massa dalam acara lain yang melibatkan Rizieq, seperti pernikahan putrinya pada 14 November. Sekitar 10 ribu orang menghadiri acara tersebut.

Akibatnya, tercipta klaster Covid-19 dari seluruh kerumunan massa yang melibatkan Rizieq dengan 77 orang terkonfirmasi positif pada 20 November 2020. Pemerintah baru bertindak setelah klaster terjadi. Polda Metro Jaya menetapkan Rizieq sebagai tersangka pada 10 Desember 2020 karena melanggar Pasal 160 KUHP tentang menghasut masyarakat melakukan perbuatan pidana sehingga terjadi kedaruratan kesehatan.

Infografik_Waspada klaster corona dari kegiatan keagamaan
Infografik_Waspada klaster corona dari kegiatan keagamaan (Katadata)

Salah satu anggota Tim ITB, Nuning Nuraini, juga menyebut perbedaan data Covid-19 memengaruhi kesulitan penanganan dan prediksi puncak serta akhir pandemi. “Estimasinya (kasus Covid-19) akan jutaan karena penduduknya ratusan juta juga,” kata Nuning pada Selasa (24/11) lalu.

KawalCovid-19 mencatat per 9 Desember 2020 selisih total kaus Covid-19 nasional dalam data pemerintah pusat dan daerah sebanyak 23.960 kasus. Jumlah total kasus dalam data daerah lebih banyak. Hal ini mengindikasikan pula bahwa jumlah kasus Covid-19 nasional bisa lebih banyak dari yang tercatat selama ini.

Pada saat bersamaan, masyarakat mulai mengidap pandemic fatigue atau kelelahan terhadap pandemi. Ketidakpastian kapan pandemi berakhir memicu demotivasi pada masyarakat dan berakibat pada abai terhadap protokol kesehatan. Sehingga berpotensi mendongkrak laju penularan Covid-19.

Dalam survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjaring 90.967 responden, baru berkisar 73,5-92% yang mengaku sering menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang acuh terhadap protokol kesehatan.

Kendati demikian, pemerintah terlihat terus membenahi penanganan Covid-19. Salah satunya dengan meningkatkan jangkauan tes secara nasional. Menurut Satgas Penanganan Covid-19, ada 16 provinsi yang pernah menembus jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) berdasarkan standar WHO.

Data pun menunjukkan pemerintah mampu mencetak rekor tes harian tertinggi pada 3 Desember 2020, yakni sebanyak 45.479 spesimen dalam sehari. Sehingga totalnya mencapai 3.952.752 spesimen.

Jumlah kabupaten/kota yang berada di zona merah atau dengan kerawanan tinggi Covid-19 pun berkurang dari 50 menjadi 47 per 6 Desember 2020. Jumlah daerah dalam zona oranye atau dengan kerawanan sedang pun berkurang dari 374 menjadi 371. Artinya, ada perkembangan baik dalam penanganan virus corona di daerah.

Belum tampaknya Indonesia akan menghadapi gelombang kedua pandemi, membuat pemerintah dan masyarakat harus semakin bersinergis untuk terus menekan angka persebaran Covid-19. Pasalnya, pandemi mustahil berakhir tanpa kerja kolektif.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi