Pandemi Covid-19 berdampak buruk terhadap kualitas manusia Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2020 nasional hanya tumbuh 0,03% atau cenderung stagnan menjadi 71,94 dari tahun lalu yang 71,92.
BPS juga mencatat IPM sepuluh daerah menurun pada tahun ini, yakni: Kalimantan Utara, Papua, Kalimantan Timur, Riau, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Suamtera Selatan, dan Sumatera Barat. Dari seluruhnya, IPM Kalimantan Utara turun paling dalam dengan minus 0,66% dibandingkan 2019 menjadi 70,63.
IPM Papua menjadi yang terendah di negeri ini dengan 60,44 atau menurun 0,48% dari tahun lalu dan berkategori sedang. Sebaliknya, IPM DKI Jakarta paling tinggi dengan 80,77 dan berkategori sangat tinggi. Perbedaan poin keduanya yang sangat jauh menunjukkan masih terdapat kesenjangan pembangunan manusia antara wilayah Pusat dan Timur Indonesia.
Rendahnya pertumbuhan IPM nasional tahun ini terpengaruh penurunan komponen pengeluaran per kapita atas dasar harga konstan 2021 yang disesuaikan (Purchasing Power Parity/PPP). PPP Indonesia sebesar Rp 11 juta pada tahun ini atau turun 2,53% dibandingkan 2019.
Penurunan PPP tahun ini menghentikan tren kenaikan selama satu dekade terakhir. Pada 2010, PPP tercatat sebesar Rp 9,64 juta dan berangsur naik hingga tahun lalu mencapai Rp 11,299 juta.
Hal ini sejalan dengan melemahnya ekonomi Indonesia saat pandemi Covid-19 terpengaruh pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menghambat mobilitas masyarakat dan geliat perekonomian. Indonesia mengalami resesi setelah ekonomi tahun ini tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut, yakni -5,32% (YoY) pada kuartal II dan -3,49% (YoY) pada kuartal III.
Tingkat kemiskinan dan pengangguran Indonesia juga meningkat selama pandemi Covid-19. Pada Maret 2020, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 9,78% atau setara 26,42 juta orang. Angka tersebut tertinggi sejak September 2017. Lalu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat dari 4,94% atau 7 juta orang menganggur pada Agustus 2019 menjadi 7,07% atau 9,8 juta orang pada Agustus 2020.
Komponen harapan lama sekolah (HLS) penduduk usia 7 tahun, berdasarkan catatan BPS, hanya meningkat 0,03 tahun dari 12,95 tahun menjadi 12,98 tahun. Lalu, rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 25 tahun ke atas hanya meningkat 0,14 tahun dari 8,34 tahun menjadi 8,48 tahun.
Pertumbuhan HLS dan RLS tersebut menunjukkan pembangunan pendidikan nasional tak lancar pada tahun ini. Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menilainya karena pemberlakuan metode pembelajaran jarak jauh tak efektif menjangkau seluruh peserta didik di negeri ini.
“Berdasarkan data yang diperoleh, hanya 30% peserta didik yang bisa menjangkau metode tersebut,” kata Jazilul melansir Antara, Rabu (19/8).
Riset Wahana Visi Indonesia berjudul Pandemi Covid-19 dan Pengaruhnya terhadap Anak Indonesia: Sebuah Penliaian Cepat untuk Inisiasi Pemulihan Awal menemukan sejumlah kendala anak mengikuti pembelajaran selama pandemi. Sebanyak 37% anak mengaku tidak bisa mengatur waktu belajar, 30% anak kesulitan memahami mata pelajaran, dan 21% anak tidak memahami instruksi guru.
Masalah pendidikan lain yang tercatat dalam riset tersebut adalah potensi anak putus sekolah akibat menurunnya pendapatan orang tua saat pandemi. Agar tetap mampu bertahan, mereka melakukan strategi ekstrem, termasuk 3,6% yang mengaku merelakan anaknya bekerja. Langkah ini lah yang berpotensi besar membuat anak putus sekolah.
Riset Yusof Ishak Institute berjudul Teaching and Learning During School Closure: Lesson From Indonesia, menemukan hanya separuh guru yang terlibat pembelajaran jarak jauh mau menyesuaikan kurikulum dengan level belajar siswa. Hal ini menyebabkan banyak siswa kehilangan kesempatan memahami pengetahuan dasar yang penting untuk jenjang pendidikan selanjutnya dan menurunkan kualitas pendidikan karakter.
Komponen terakhir adalah umur harapan hidup saat lahir (UHH) yang meningkat 0,13 tahun dibandingkan 2019 menjadi 71,47 tahun pada 2020. Artinya, peluang hidup masyarakat Indonesia hanya sampai usia 72 tahun. Pertumbuhan ini cenderung stagnan jika dibandingkan 2018 ke 2019 yang meningkat 0,14 tahun.
UHH berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan dan kesehatan. Semakin sejahtera dan terpenuhi akses kesehatan penduduk sebuah wilayah, angka UHH akan semakin tinggi. Dengan begitu, pemenuhan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat negeri ini selama tiga tahun ke belakang cenderung stagnan.
Khusus pemenuhan kesehatan, pandemi Covid-19 membuatnya semakin berat. Hal ini lantaran banyak masyarakat yang terinfeksi demam jenis baru ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 16 Desember 2020, total pasien positif sebanyak 636,2 ribu orang dengan 19,2 ribu di antaranya meninggal dunia.
Ditambah pula tes PCR Covid-19 yang lambat oleh pemerintah. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19, per Oktober 2020 tes PCR Covid-19 Indonesia baru mencapai 82,51% dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Satu hal yang juga menunjukkan Indonesia belum siap menghadapi pandemi secara infrastruktur kesehatan.
Berkaca kepada seluruh data tersebut di atas, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan perekonomian, pendidikan, dan kesehatan selepas pandemi Covid-19. Khususnya di wilayah Luar Jawa yang selama ini masih tertinggal, seperti Papua dan Papua Barat.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi