Advertisement
Analisis | Problem Akses Air Bersih saat Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Problem Akses Air Bersih saat Pandemi

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Pemakaian air bersih meningkat saat pandemi. Namun, belum semua masyarakat mendapatkan akses air bersih.
Dimas Jarot Bayu
24 Februari 2021, 14.53
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kebutuhan air bersih meningkat seiring dengan perubahan perilaku masyarakat selama pandemi Covid-19 . Ini  tercermin dalam temuan riset Indonesia Water Institute (IWI) periode 15 Oktober-20 November 2020. 

Contoh perilaku yang berubah dan berkaitan dengan kebutuhan air bersih dalam riset tersebut, adalah mencuci tangan. Tercatat jumlah responden yang mencuci tangan lebih dari sepuluh kali sehari meningkat saat pandemi Covid-19. Angkanya mencapai 82% dari yang sebelum pandemi hanya 18%.

Jumlah responden yang mengaku mandi lebih dari tiga kali sehari juga meningkat dari 27% menjadi 72%. Peningkatan kedua aktivitas tersebut dapat dipahami berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan dan pemahaman bahwa cara menangkal penularan Covid-19 adalah dengan menerapkan hidup bersih.

Alhasil, seperti dalam temuan riset tersebut, volume air untuk mencuci tangan meningkat menjadi 20-25 liter per orang per hari. Volume tersebut lima kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelum pandemi.

Sementara volume air untuk mandi meningkat menjadi 150-210 liter per orang per hari. Padahal, sebelum pandemi hanya 50-70 liter per orang per hari.    

Akan tetapi, kebutuhan yang meningkat selama pandemi belum beriringan dengan pemerataan akses air bersih. Misalnya untuk sumber air minum layak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 9,79% rumah tangga Indonesia yang belum memiliki akses ke sumber air minum layak pada 2020.

Secara wilayah, rumah tangga di perdesaan lebih banyak yang belum mendapatkan akses air minum layak. Jumlahnya mencapai 17,26% dibandingkan di perkotaan yang 3,92%.

Sumber air minum layak, menurut BPS, adalah air minum yang terlindung. Ini meliputi air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran dan penampungan limbah.

Kapasitas sistem penyediaan air minum (SPAM) di Indonesia baru sebesar 188.096 liter per detik atau dengan cakupan air perpipaan nasional baru sebesar 21,08% dari total penduduk negeri ini, berdasarkan data IWI.     

Ada empat sebab kapasitas SPAM di Indonesia rendah. Pertama, sumber air baku semakin terbatas akibat lahan terbuka hijau menipis sebagai dampak deforestasi yang terus terjadi setiap tahun.   

Data Global Forest Watch mencatat, luas lahan tutupan pohon, termasuk hutan primer dan sekunder, menurun hingga 26,8 juta hektar pada periode 2001-2019. Total deforestasi dalam 20 tahun terakhir telah mengurangi 17% lahan tutupan pohon di Indonesia.

Kedua, banyak sungai di Indonesia yang tercemar. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019 menunjukkan, 54 dari 98 sungai di Indonesia berstatus cemar ringan. Sebanyak enam sungai masuk kategori cemar ringan-sedang. Sementara, 38 sungai berstatus cemar ringan-berat.

Keadaan tersebut lebih buruk dari 2018. Ketika itu, KLHK mencatat ada 67 dari 97 sungai berstatus cemar ringan. Sebanyak lima sungai cemar ringan-sedang. Lalu, 25 sungai cemar ringan-berat.

Sungai yang tercemar membuat air di sekitarnya tak bisa masuk dalam kategori sumber air minum layak seperti halnya dalam definisi BPS. Hal ini karena sungai yang tercemar bisa berdampak kepada kondisi air tanah.

Ketiga, karena pembangunan infrastruktur untuk air bersih belum merata. Sebagai contoh, kapasitas terpasang SPAM jaringan perpipaan di Jawa Timur tercatat mencapai 30.765 liter per detik pada 2019. Volume produksi riil dari SPAM jaringan perpipaan di provinsi tersebut mencapai 24.534 liter per detik.

Bandingkan dengan kapasitas terpasang SPAM jaringan perpipaan di Papua Barat yang hanya sebesar 179 liter per detik pada periode sama. Volume produksi riil dari SPAM jaringan perpipaan di provinsi tersebut pun hanya mencapai 140 liter per detik.

Data tersebut menguatkan pendapat Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti bahwa, peran pemerintah masih minim untuk pengadaan air bersih di pelosok daerah. Alhasil, masyarakat biasanya melakukan inisiatif sendiri untuk bisa mengakses air bersih.

“Setahu saya, masyarakat desa swadaya sendiri membuat pengadaan air bersih di pelosok desa," ujar Esther kepada Katadata.co.id, Jumat (19/2).

Kendala keempat, adalah pada manajemen pengelolaan SPAM. Hal ini sebagaimana penuturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Menurutnya, jumlah air baku sebetulnya tetap dari sudut pandang hidrologis, tapi pengelolaan yang salah membuatnya kurang atau lebih.

“Ada juga dalam kualitas (air baku). Kalau ada kualitas yang enggak benar atau jelek, pasti juga manajemennya air itu yang perlu diperbaiki,” kata Basuki dalam webinar pada Kamis (11/2).

Persoalan pengelolaan SPAM dapat terlihat dari banyaknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang berkinerja tidak sehat. Berdasarkan data BPP SPAM Kementerian PUPR, ada 156 PDAM yang tidak sehat pada 2019. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 151 PDAM.

Selain itu, Basuki menilai kesalahan pengelolaan air baku dapat terlihat dari masih tingginya tingkat kehilangan air (unaccounted for water/non-revenue water) di Indonesia. Pada 2019, tingkat kehilangan air di Indonesia tercatat mencapai 33,49%.

Basuki sempat menemukan salah satu PDAM yang jumlah pipanya mencapai 100%, namun kuitansi pembayarannya hanya 60%. Artinya, tingkat kehilangan airnya mencapai 40%.

”Itu bisa bocor secara teknis atau administrasi karena ada perusahaan dalam perusahaan misalnya,” katanya.

Masalah lain terkait pengelolaan air, kata Basuki, adalah tarif yang terlalu rendah. Padahal, kebutuhan air setiap daerah berbeda. Sehingga, semestinya tarif air di tiap daerah berbeda.  

 “Daerah bisa menyesuaikan dengan koefisien yang berbeda-beda sesuai dengan kemahalan, tingkat UMR, dan lainnya. Kalau itu bisa dipegang, pasti juga biaya yang dibutuhkan tidak hanya melulu dari APBN dan juga kerja sama dengan badan usaha,” katanya.

Pendiri IWI, Firdaus Ali, berpendapat salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah kirisis air bersih di kemudian hari, adalah dengan mengembangkan infrastruktur SPAM di seluruh wilayah negeri ini.

Pengembangan tersebut, menurut Firdaus, bisa dengan mengikutsertakan peran investasi swasta. Ia berpendapat APBN saja tak akan cukup untuk melakukannya di seluruh Indonesia. Terlebih pemerintah saat ini sedang memfokuskan angaran untuk penanganan pandemi.

“Pemerintah butuh dukungan kerja sama semua pihak, termasuk badan usaha yang membutuhkan kepastian usaha untuk membantu kita bersama,” kata Firdaus.

Pemerintah pun perlu melakukan pembenahan terhadap pengelolaan SPAM yang dilakukan PDAM. Semakin sehat pengelolaan yang dilakukan PDAM, maka semakin besar juga peluang masyarakat mendapatkan air bersih. Dengan demikian, kebutuhan air bersih masyarakat yang meningkat di tengah pandemi corona bisa terpenuhi.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi