Ekspor alat kesehatan berpotensi besar membantu pemulihan industri tekstil dan pakaian jadi yang terpuruk selama pandemi Covid-19. Namun, potensi ini belum mampu dimaksimalkan.
Kementerian Perindustrian mencatat pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi minus 8,8% secara tahunan (YoY) pada 2020. Padahal, sektor ini terus tumbuh positif dalam rentang 2017-2019. Pada 2017, pertumbuhannya tercatat sebesar 3,83%. Lalu, naik menjadi 8,73% pada 2018 dan menjadi 15,35% pada 2019.
Penyebab kontraksi pada tahun lalu, salah satunya adalah permintaan yang menurun akibat perubahan pola konsumsi masyarakat. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2020 lalu, konsumsi masyarakat untuk kesehatan meningkat 73,3% dan bahan makanan 65,8% dibandingkan sebelum pandemi. Sebaliknya, untuk kebutuhan lain cenderung menurun.
Menjelang lebaran tahun lalu misalnya, dalam pemberitaan Katadata.co.id sebelumnya, pengelola Pasar Beringharjo di Yogyakarta dan Pasar Tanah Abang di Jakarta menyatakan penjualan pakaian jadi menurun.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redwa Wirawasta, pada 20 Mei 2020 lalu pun menyatakan kepada Katadata.co.id bahwa penjualan benang menjelang lebaran tak sampai 5% dari masa normal.
Di sisi lain, ekspor industri tekstil dan pakaian jadi tercatat minus 17% (YoY) pada 2020. Satu hal yang menunjukkan pasar luar negeri surut. Dampak dari penurunan kinerja sektor ini, adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja hingga 13% (YoY) pada tahun lalu.
Meski demikian, industri tekstil dan pakaian jadi masih berpeluang bangkit. Salah satunya dengan memanfaatkan ekspor alat kesehatan seperti alat pelindung diri (APD) dan masker yang menjadi bagian dari produk industri ini.
Potensi dari ekspor lantaran kapasitas produksi nasional lebih besar dari kebutuhan dalam negeri. Hal ini pula yang disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada 24 Februari 2021 lalu.
Berdasarkan data Dashboard Monitoring Alat Kesehatan (DMA) Kementeria Perindustrian, kapasitas produksi APD (coverall-medical) tercatat sebanyak 39,6 juta potong per bulan atau 356,4 juta per tahun.
Untuk kapasitas produksi pakaian bedah atau surgical gown sebanyak 24,9 juta potong per bulan atau 224,4 juta potong per tahun. Lalu, masker medis mencapai 405,9 juta potong per bulan atau 3,7 miliar per tahun. Sementara, masker N95 sebanyak 360 ribu potong per bulan atau 3,2 juta potong per tahun.
Proyeksi kebutuhan nasional untuk penanganan pandemi Covid-19 hingga akhir 2021, berdasarkan data DMA, tercatat lebih kecil. Untuk APD sebesar 14,9 juta potong, pakaian bedah 7,5 juta potong, dan masker bedah 176,6 juta potong. Hanya masker N95 yang kebutuhannya melebihi kapasitas produksi, yakni 11,5 juta potong.
Sehingga, Indonesia diperkirakan surplus APD 341,5 juta potong, pakaian bedah 216,8 juta potong, dan masker bedah 3,4 miliar potong hingga akhir 2021. Namun, untuk masker N95 akan deficit 8,3 juta potong.
Dari surplus tersebut, potensi nilai ekspor alat kesehatan Indonesia mencapai US$ 4,54 miliar. Rinciannya, APD sebesar US$ 3,16 miliar, pakaian bedah US$ 618,03 juta, dan masker bedah US$ 764,69 juta.
Perhitungan tersebut diambil dengan asumsi harga APD senilai US$ 9,25 per potong, pakaian bedah US$ 2,85 per potong, dan masker bedah US$ 0,22 per potong.
Masalahnya, Indonesia masih belum mampu mengoptimalkan potensi tersebut. Sepanjang 2020, nilai ekspor alat kesehatan baru sebesar US$ 197,6 juta. Rinciannya, APD US$ 2,47 juta, pakaian bedah US$ 20,29 juta, masker beda US$ 75,19 juta, dan masker respirator N95 US$ 74,09 juta.
Kemudian, ekspor meltblown nonwoven yang terbuat dari filament buatan sebagai bahan baku masker mencapai US$ 16,97 juta. Sementara, ekspor meltblown selain filament buatan mencapai US$ 8,6 juta.
Nilai ekspor tersebut memang meningkat signifikan dibandingkan pada 2019 yang sebesar US$ 49,6 juta. Namun, nilai tersebut masih lebih kecil dari perkiraan potensi ekspor.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengakui persoalan tersebut. Menurut Elis, ekspor belum optimal lantaran permintaan alat kesehatan dari luar negeri masih minim.
Padahal, Elis meyakini kapasitas produksi di dalam negeri mampu melebihi jumlah saat ini apabila permintaannya meningkat. “Industri alat kesehatan siap untuk support dan all out untuk produksi memenuhi demand tersebut,” kata Elis ketika dihubungi Katadata.co.id, Senin (1/3).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman juga menyatakan hal serupa. Menurutnya, permintaan ekspor masker dan APD masih terbatas.
Rizal menyatakan hal itu karena Indonesia kalah bersaing dengan pemain ekspor masker dan APD lain. Sebagai contoh, Tiongkok tercatat mampu mengekspor lebih dari 220 miliar masker wajah dengan nilai 340 juta yuan atau setara US$ 52,6 miliar sepanjang 2020, sebagaimana dilansir dari Bloomberg. Jumlah itu setara dengan 40 masker untuk setiap orang di dunia.
Selain itu, Tiongkok mengekspor 2,3 miliar APD pada tahun yang sama. Nilai ekspor APD dari Negeri Tirai Bambu sekitar 100 juta yuan atau setara US$ 15,2 miliar.
“Produsen APD dan masker (dari negara) yang lain juga besar share-nya,” kata Rizal.
Guna mendorong ekspor alat kesehatan nasional, Rizal menilai pemerintah perlu mendorong promosi dagang oleh atase-atase perdagangan Indonesia di berbagai negara.
Sepanjang 2020, kinerja sebagian besar atase perdagangan dan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC) memang masih belum begitu baik dalam catatan Kementerian Perdaganangan.
Hanya 11 dari 33 negara yang membukukan rapor hijau, antara lain Tiongkok (15,59%), Amerika Serikat (4,58%), Belanda (0,01%), Swiss (223,76%), Jerman (2,16%), Australia (14,52%), Belgia (15,05%), Brasil (1,25%), Mesir (4,33%), Rusia (12,73%), dan Chili (14,28%).
“Paling mungkin ya promo dagang dengan atase perdagangan kita di negara lain. Itu yang bisa dilakukan sekarang,” kata Rizal.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi