Jokowi Minta Akhiri Ekspor Batu Bara Mentah
Presiden Joko Widodo meminta Indonesia tidak lagi menjadi eksportir batu bara mentah. Ia berharap, komoditas tersebut dapat diolah menjadi bahan jadi atau bahan setengah jadi sebelum dikirim ke luar negeri.
"Kita sudah lama sekali ekspor batu bara mentah sehingga harus diakhiri," kata Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Batu Bara di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (23/10).
Oleh karenanya, perlu pengembangan industri turunan yang dilakukan secara konsisten. Pengembangan industri tersebut dapat dilakukan seperti industri peningkatan mutu, pembuatan briket, pembuatan kokas, pencairan batu bara, gasifikasi, dan campuran batu bara cair.
Ia pun meyakini, hilirisasi batu bara dapat meningkatkan nilai tambah, mengurangi impor bahan baku, serta menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Menurutnya, ada beberapa prioritas yang bisa dikerjakan seperti metoksimetana (Dimethyl Ether/DME) untuk substitusi impor Liquified Peroleum Gas (LPG). "Di mana kita tahu LPG masih impor, sehingga bisa kurangi impor LPG kita," ujar dia.
Oleh karenanya, ia meminta peta jalan optimalisasi pemanfaatan batu bara dalam negeri. Peta jalan tersebut perlu memuat target produk hilir yang dituju, jumlah batu bara yang akan diolah, hingga berapa besar hasil olahan yang dihasilkan.
Tak hanya itu, pemetaan kawasan perlu dilakukan untuk dapat menetukan strategi besar dalam hilirisasi batu bara. Mantan Walikota Solo itu juga meminta, hilirisasi dilakukan dengan teknologi yang ramah lingkungan.
Meski begitu, Jokowi menyebutkan masih ada kendala pada faktor ekonomi dan teknologi dalam pengembangan industri turunan batu bara. Kendala tersebut, lanjut dia, dapat diatasi bila perusahaan dapat bekerja sama dengan BUMN.
Ia pun menyebutkan, masih sedikit perusahaan yang mendapatkan izin usaha untuk optimalisasi batu bara. Pada 2019, baru ada 5 pemegang zin usaha pertambangan khusus operasi produksi (IUPK-OP). Sementara itu, baru 2 pemegang IUPK-OP produsen briket. "Saya ingin cari solusi untuk atasi kelambanan pengembangan industri batu bara," ujar dia.
Berikut adalah Databoks yang menggambarkan produksi batu bara di berbagai daerah:
Hilirisasi Batu Bara dalam Omnibus Law
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bakal menggenjot proyek hilirisasi batu bara dan sedang menjajaki kerja sama dengan perusahaan asing. Targetnya, tahun depan pengerjaan teknik, pengadaan, dan konstruksi (EPC) dapat mulai berjalan.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan langkah ini sesuai dengan arahan pemerintah. Produk pertambangan mineral dan batu bara (minerba) harus memberi nilai tambah bagi perekonomian domestik.
Arviyan mengakui selama seabad perusahaan beroperasi, produknya kerap dipakai untuk pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU yang berpolusi tinggi. “Tidak memberi nilai tambah,” kata dia dalam diskusi virtual Tempo Energy Day, Rabu (21/10).
Insentif baru untuk produsen batu bara yang melakukan hilirisasi muncul dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Pada klaster pertambangan, di Pasal 39 tercantum aturan pemberian royalti 0% untuk hilirisasi batu bara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah (Jatam) Johansyah berpendapat pasal tersebut cukup bermasalah dan sarat kepentingan."Itu berarti menggratiskan sumber daya alam. Berbahaya sekali," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Perusahaan batu bara akan mudah meminta insentif dengan alasan mau melakukan hilirisasi. Pendapatan negara, terutama penerimaan negara bukan pajak atau PNBP, berpotensi tergerus.
PNBP di sektor mineral dan batu bara (minerba) pada 2018 mencapai Rp 50 triliun. Sekitar 80% dari angka itu berasal dari setoran pengusaha batu bara. Penerimaan terbesar berasal dari PT Kaltim Prima Coal. Dengan produksi 58 juta ton, anak usaha PT Bumi Resources Tbk itu menyetor PNBP mencapai Rp 6,55 triliun.
Lalu, PT Adaro Energy Tbk dengan produksi 54 juta ton memberikan pemasukan ke negara Rp 5,05 triliun pada 2018. PT Kideco Jaya Agung, anak usaha PT Indika Energy Tbk, menghasilkan 34 juta ton pada tahun itu dengan total PNBP sebesar Rp 3,3 triliun.