Produktivitas Masih Jadi Tantangan Petani Kelapa Sawit
Persoalan produktivitas masih menjadi tantangan berat yang harus dihadapi oleh para petani swadaya kelapa sawit.
Direktur Penghimpunan Dana BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) Sunari mengatakan masalah produktivitas ini bisa diatasi melalui pendidikan dan pelatihan. Selain itu, riset dan penelitian di bidang kelapa sawit juga menjadi faktor penting pengelolaan perkebunan. Hasil riset ini bisa dikembangkan lebih lanjut agar bisa diaplikasikan oleh para petani.
"BPDP-KS sudah mendorong upaya kearah tadi bagaimana kita dapat meningkatkan produktivitas sawit rakyat kemudian keterampilan bertani," ujar Sunari dalam diskusi Katadata Road to COP 2026, Senin (25/10).
Sunar melanjutkan pihaknya sudah memiliki 201 publikasi, 42 paten dan 5 buku yang sudah disebar ke berbagai pemangku kepentingan. Tantangan selanjutnya adalah mengembangkan riset ini menjadi teknologi tepat guna bagi petani.
Kepala Sekolah Petani Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) Rukaiyah Rafik menyampaikan para petani swadaya sawit dapat meningkatkan pengelolaan perkebunan sawit setelah mendapatkan sertifikat baik dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Para petani menurutnya harus menggunakan sertifikasi sebagai alat belajar untuk berorganisasi dan merealisasikan apa yang mereka peroleh dari sertifikasi.
Menurut Rukaiyah dalam konteks pasca sertifikasi tidak ada panduan mengenai aktualisasi di lapangan. Sertifikasi disebutnya bukan proses persiapan karena dalam proses persiapan terdapat buku panduan yang mengikuti dari sertifikasi. Dirinya juga menambahkan bahwa sustainability atau ketahanan dalam pengelolaan sawit bukan hanya milik pengelola sawit semata, tetapi juga milik komunitas lainnya.
"Kami menyadari bahwa tantangan selanjutnya adalah untuk anggota-anggota kita ini yang sudah bersertifikat bagaimana mereka meningkatkan dan menularkan apa yang sudah mereka pelajari," jelas Rukaiyah.
Direktur Pengeolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi Junaedi menyampaikan keberlanjutan sektor perkebunan kelapa sawit menjadi perhatian bagi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Sebanyak 6,7 juta hektar milik perkebunan sebagian besarnya merupakan perkebunan petani swadaya.
Dedi juga menilai inisiasi sertifikasi penting dalam membangun keberlanjutan kelapa sawit. Disampaikannya pemerintah akan melanjutkan sertifikasi tersebut agar terjadi titik temu antara sertifikasi ISPO dengan RSPO sehingga menjadi lebih efisien.
"Pemerintah memandang semua inisiasi mengenai sertifikasi yang penting. Bagaimana membangun kelapa sawit itu berkelanjutan," jelas Dedi.
Selain itu, Dedi juga menyampaikan tantangan dalam pengelolaan perkebunan sawit adalah belum tercapainya target realisasi yang telah ditetapkan. Hal ini juga dikarenakan para petani swadaya masihb bekerja sendiri-sendiri dan juga kemungkinan banyaknya petani yang tertipu karena diimingi harga murah, tetapi palsu.
"Lahan juga terpencar mungkin dulu juga melihat pada saat menanam juga melihat-melihat saja ya jadi mungkin banyak juga malah yang tertipu ya pada saat bombing," ujar Dedi.
Melalui Inpres tersebut juga Dedi menyampaikan pemerintah melakukan pendampingan dengan para petani yang menyangkut tata kelola dan pendataan. Selain itu juga adanya penguatan koordinasi melalui pembentukan forum yang secara resmi disosialisasikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga akan mengeluarkan standar prosedur dalam pembangungan perkebunana sawit yang berkelanjutan.
Deputi Direktur RSPO Indonesia (Ad Interim) Tiur Rumondang menyampaikan RSPO dalam perannya telah membuat standar khusus untuk para petani. Standar khusus tersebut adalah membuka sertifikasi yang sama dengan perusahaan tetapi, dikelompokan menjadi sehingga menjadi lebih terlihat dan mudah untuk dilakukan proses audit.
"Di smallholders kan legalitasnya penting sama pentingnya, tapi tidak sekompleks di perusahaan nah itu salah satunya tapi bagaimana membuat legalitas ini juga tetep tidak hilang kepentingannya," jelas Tiur.
Dalam standar khusus tersebut Tiur menjelaskan hanya menjalankan empat prinsip yaitu pertama mengoptimalkan produktivitas dan efisiensi dari operasinya, legalitas dan penghormatan atas tanah, penghormatan terhadap HAM termasuk hak dan kondisi pekerja dan keempat adalah melestarikan lingkungan dan ekossitem pendukungnya.
Selain penyederhanaan standar, Tiur menjelaskan diperlukan lembaga untuk belajar mengelola sehingga para petani yang sebelumnya belum terbiasa mengelola keuangan bersama dapat belajar. Kemudian juga menjembatani ketergantungan yang tinggi dari pihak ketiga. Sertifikasi dari RSPO juga kemudian memberi pengaruh besar bagi para petani dalam eksistensi mereka tidak hanya di pasar indonesia tetapi juga pasar global.
"Jadi manfaatnya yang paling terasa itu adalah perbaikan dari kelola pengelolaan kebun itu sendiri sehingga mereka punya produktivitas naik," ujar Tiur.