Pemerintah Harus Punya Langkah Konkret Tangani Krisis Iklim

Rezza Aji Pratama
18 November 2021, 20:47
Yves Herman Pemandangan selama Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26), di Glasgow, Skotlandia, Inggris, Jumat (12/11/2021).
ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman/HP/sa.
Pemandangan selama Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26), di Glasgow, Skotlandia, Inggris, Jumat (12/11/2021).

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong pemerintah menerapkan langkah konkret untuk keluar dari krisis iklim.

Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, mengatakan hasil COP26 menghasilkan Pakta Iklim Glasgow, tetapi belum memuaskan banyak pihak. Poin-poin penting dari Pakta Iklim Glasgow antara lain, mengakui komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri.

Kedua, secara eksplisit akan mengurangi penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan akan perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim.

Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

“Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya, Kamis (18/11)

Guna mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak mulai dari masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan swasta. Ini terutama harus dilakukan di sektor energi. Pasalnya, salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara.

Dalam perundingan di Glasgow, para pihak gagal menghentikan batu bara secara penuh. Ini terjadi setelah India dan Cina melobi mengganti kata ‘menghentikan menjadi "mengurangi" secara bertahap.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya.

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan.

Batu bara juga masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara berkontribusi 40% pada emisi global.

“Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” kata Fabby.

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan.

Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam.

“Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, moratorium hutan alam dan gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement).

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. “Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya.

Reporter: Rezza Aji Pratama

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...