Burung Elang Jawa, Taksonomi hingga Ancaman Kepunahan
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar (mega biodiversity) kedua di dunia setelah Brazil. Mengutip laman Kementerian Kelautan dan Perikanan, negara dengan hutan terluas ke sembilan ini memiliki sekitar 400.000 jenis hewan dan ikan. Salah satu hewan khas yang dimiliki yaitu Burung Elang Jawa.
Burung Elang Jawa merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Pulau Jawa. Sebagai salah satu hewan endemik, spesies ini termasuk hewan yang menghadapi risiko kepunahan lantaran berkurangnya habitat dan maraknya perburuan liar. Bahkan, burung ini terdaftar dalam satwa “terancam punah” dalam Buku Data Merah.
Melansir Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.58/Menhut-II/2013 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) Tahun 2013-2022, satwa ini dianggap identik dengan lambang NKRI, yaitu Burung Garuda. Pada 10 Januari 1993, pemerintah mengeluarkan peraturan yang menetapkan satwa Elang Jawa sebagai simbol nasional.
Satwa ini juga masuk daftar Appendik II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), yang mengatur larangan seluruh perdagangan internasional tanpa adanya izin khusus.
Taksonomi dan Ciri-Ciri Burung Elang Jawa
Burung dengan nama ilmiah spizaetus bartelsi ini merupakan spesies elang berukuran sedang dengan panjang sekitar 60 cm yang berhabitat di Pulau Jawa. Satwa ini memiliki badan tegap dan berbulu lebat. Bulu punggungnya berwarna gelap, sementara bulu di sisi kepala berwarna cokelat kemerahan dengan coretan vertikal di bagian tenggorokan.
Burung Elang Jawa memiliki jambul dengan panjang sekitar 12 sentimeter (cm) di atas kepala serta rentang sayap selebar 110-130 cm. Burung ini memiliki suara nyaring dan tinggi. Jika dilihat dari suara dan cara terbangnya, sekilas mirip dengan Elang Brontok, hanya saja warnanya lebih cerah.
Hewan ini termasuk burung pemangsa di hutan hujan tropis dalam kelompok genus spizaetus di Asia Tenggara.
Seiring pembangunan yang pesat di Pulau Jawa serta banyaknya perburuan dan perdagangan liar membuat burung ini terancam kepunahan. Kawasan hutan yang kian sempit dan sifat biologisnya yang cuma bertelur dua tahun sekali turut jadi pemicunya.
Berikut tabel taksonomi Elang Jawa:
Kerajaan | Animalia |
Filum | Chordata |
Kelas | Aves |
Ordo | Falconiformes |
Familia | Accipitridae |
Genus | Spizaetus |
Spesies | S. bartelsi |
Nama binomial | Spizaetus bartelsi |
Sebaran dan Habitat Burung Elang Jawa
Zaman dulu, Burung Elang Jawa ditemukan hampir di seluruh hutan dan lereng gunung Pulau Jawa. Keberadaannya cukup sulit ditemukan karena habitatnya sebatas wilayah hutan primer dan daerah peralihan antara dataran rendah dan pegunungan.
Mengutip Bidrlife Internasional, Elang Jawa tersebar di 62 kantung populasi di Pulau Jawa. Sebanyak 40 di kawasan konservasi dan 22 di kawasan hutan lindung.
Elang Jawa menyukai habitat hutan dengan area pegunungan, perbukitan, dan dataran tinggi. Burung ini bisa hidup hingga ketinggian 3.000 meter du atas permukaan laut (mdpl).
Sebagai burung pemangsa, Elang Jawa sering bertengger di pohon tinggi. Selain memakan burung-burung kecil, Elang Jawa juga memangsa mamalia kecil seperti tupai, anak monyet, musang, hingga reptil seperti kadal, bunglon dan ular.
Elang Jawa sering menggunakan hutan sekunder untuk berburu dan bersarang yang berdekatan dengan hutan primer untuk keberhasilan perkembangbiakannya. Daerah jelajah Elang Jawa di beberapa lokasi yang berbeda mencakup berbagai macam tipe habitat termasuk hutan produksi, kawasan budidaya, dan perkebunan.
Populasi Burung Elang Jawa
Tidak diketahui berapa jumlah pastinya yang masih hidup. Namun, berdasarkan jurnal yang diterbitkan Menteri Kehutanan berjudul Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (2013-2022), diperkirakan jumlahnya sekitar 200 ekor.
Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syartinilia dan kawan-kawan pada 2010 dengan menggunakan pendekatan ALR_50 model extrapolation yaitu pendekatan kebutuhan habitat, Elang Jawa menunjukan bahwa populasi burung ini berkisar antara 108-542 pasang dengan nilai pertengahan yaitu 325 pasang.
Perkembangbiakan Elang Burung Jawa
Populasi hewan ini tidak bisa berkembang cepat karena merupakan hewan monogami yang kawin dengan satu pasangan seumur hidup. Penelurannya kebanyakan terjadi pada bulan antara pertengahan tahun pertama dari Desember-Januari ke Juni-Juli.
Satwa ini mengerami telurnya selama kurang lebih 47 hari, dan 95% dilakukan oleh induk betina. Sementara, induk jantan bertugas mencari makan. Elang Jawa diperkiran mulai berbiak pada usia 3-4 tahun.
Pohon sarangnya umunya memiliki diameter batang yang cukup besar yaitu sekitar 1 meter dengan ketinggian pohon mencapai 30 meter.
Ancaman Kepunahan
Melihat keberadaannya yang terancam punah, para ilmuwan berupaya melakukan konservasi atas Burung Elang Jawa. Namun, hal ini tidaklah mudah, sebab habitatnya yang semakin rusak dan sempit serta perburuan dan perdagangan ilegal diyakini semakin meningkat.
Berdasarkan jurnal yang diterbitkan Menteri Kehutanan, pada 2004, terdapat 20 ekor Elang Jawa diperdagangkan di sejumlah pasar burung di Pulau Jawa. Di tahun yang sama, 10 ekor Elang Jawa dikirim ke Korea Selatan, dan 11 ekor dikirim ke Taiwan dan Singapura.
Adapun masalah utama yang dihadapi dalam konservasi Elang Jawa adalah:
- Kerusakan habitat
Sekitar 46,7% populasi Elang Jawa yang hilang disebabkan oleh kerusakan habitat. Mengacu pada peta distribusi hutan alam di Jawa dan tingginya tingkat kerusakan habitat di Jawa bagian tengah, maka akan muncul kemungkinan masalah, yaitu terpisahnya populasi di Jawa bagian barat dan bagian timur.
- Perburuan dan perdagangan ilegal
Perdagangan Burung Elang Jawa diyakini terus meningkat. hal ini terjadi khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lainnya. Bahkan, beberapa survei menunjukan bahwa 30-40 ekor Elang Jawa diperjualbelikan di pasar burung di Pulau Jawa.
Lambang Negara
Pada 1950, dilakukan sayembara untuk pemilihan lambang negara. Dari kompetisi tersebut, dipilih rancangan Burung Garuda milik Sultan Hamid II dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Rancangan tersebut mengalami perbaikan dan masukan dari presiden pertama Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk membedakannya dengan burung Bald Eagle yang menjadi simbol negara Amerika Serikat. Presiden Ir. Soekarno kemudian menambahkan jambul di kepala Garuda yang identik dengan Elang Jawa.
Hingga saat ini, pemerintah masih mengupayakan pelestarian Burung Elang Jawa. Dalam kunjungan ke Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) pada 14 Februari 2020, Presiden Joko Widodo melepasliarkan dua ekor Elang Jawa dengan harapan dapat menjaga kelestarian burung ini di alam bebas sekitar Gunung Merapi.