Kotak Pandora Beralihnya Kewenangan Izin Tambang ke Pusat

Image title
11 Desember 2020, 17:26
izin tambang, uu minerba, pertambangan, kpk, uu cipta kerja, omnibus law
Iurii Kovalenko/123rf
Ilustrasi. Kewenangan perizinan tambang beralih dari pemerintah daerah ke pusat mulai hari ini, Jumat (11/12).
  • UU Minerba mengalihkan perizinan tambang dari daerah ke pusat.
  • KPK menemukan sengkarut izin tambang sejak 2017.
  • Peralihan izin diprediksi membuka potensi korupsi dan tumpang tindih lahan.

Perizinan tambang tak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah mulai hari ini, Jumat (11/12). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara alias UU Minerba, pemerintah pusat mengambil alih perizinan tersebut. 

Kehadiran beleid itu harapannya memangkas proses perizinan yang berbelit. Di saat yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan sapu jagat atau omnibus law ini akan melenggangkan pelaksanaan proses perizinan satu pintu dan online single submission (OSS).

Advertisement

Pemerintah tengah menggodok aturan turunannya. Salah satu yang tengah dirumuskan ialah rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penyelenggaraan perizinan berusaha di daerah. Di dalamnya akan berisi teknis penyederhanaan syarat bagi kegiatan usaha berisiko rendah dan menengah.

Namun, sejumlah pihak memprediksi peralihan kewenangan dari daerah ke pusat dapat memunculkan beragam persoalan. Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan pengeluaran izin pertambangan bukan hanya sekadar stempel. Pemerintah juga harus melakukan verifikasi, pengawasan, dan pembinaan.

Dengan semua proses tersebut ditarik ke pusat, ia memperkirakan bisa terjadi antrian panjang para pemohon izin. Pemerintah harus menyediakan sumber daya yang tidak sedikit.

Oknum nakal pun bisa bermain dalam situasi itu. Apalagi, pola pikir kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah masih sering terjadi. “Yang akan mendapat izin tambang nantinya hanya orang-orang yang dekat dengan pusat, secara finansial dan politik,” kata Budi kepada Katadata.co.id, Jumat (11/12). 

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai alasan awal beberapa perizinan tidak di pusat salah satunya karena daerah yang tahu persis kondisi dan kebutuhannya. Termasuk soal perlindungan lingkungan. “Nah, ditariknya izin ini bisa menyebabkan kebijakan pusat yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan daerah," ujarnya.

Resep yang tepat, seharusnya, pusat mendorong pemerintah daerah lebih akuntabel, sekaligus menguatkan pengawasan publik. “Jadi, bukan menarik kewenangannya. Semangat desentralisasi sudah pas, mendekatkan kebijakan kepada publik,” ucap Tata. 

Apabila kebijakan baru ini tetap diterapkan, akan timbul masalah baru. Korupsi dan tumpang tindih perizinan bakal muncul. Urusan publik menjadi semakin jauh dari pengambil kebijakan karena semua ditarik ke pusat.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan para pelaku usaha tambang akan mematuhi aturan dan regulasi pemerintah. Namun, pihaknya berharap peralihan kewenangan tersebut tidak menghambat efektivitas kegiatan usaha. 

Dasar pengalihan pemberian itu sudah tercantum dalam UU Minerba. Jadi, menurut dia, para pembuat aturan menyadari selama ini pengelolaan kewenangan dari pemerintah daerah belum efektif. Masih banyak izin tambang yang tumpang tindih.

Hal itu pun sesuai dengan temuan Koordinasi dan Supervisi Sektor Minerba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam laporan pada 2017, komisi antirasuah menemukan sengkarut tata kelola minerba muncul sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang penyerahan kewenangan pertambangan kepada pemerintah daerah.

Aturan itu merupakan turunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Kehadirannya memicu booming perizinan tambang. Berdasarkan data 2001, izin tambang yang tercatat di pusat hanya ada 750-an izin. Setelah beralih kewenangan di era desentralisasi, angkanya menjadi 8 ribuan di 2008.

Bahkan di rentang 2010 sampai 2014 jumlahnya naik menjadi 10.900-an izin. Dari angka ini sebanyak 40% untuk izin usaha pertambangan atau IUP batu bara. Total luasannya mencapai 16,2 juta hektare

Pemerintah sempat melakukan moratorium IUP baru pada 2009 sejalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang minerba. Namun, penghentian sementara ini tidak berhasil. Di beberapa daerah tetap mengeluarkannya dengan cara mengakali tanggal permohonan izin tambang yang dibuat mundur atau backdate.

Indikasi kuat pelanggaran itu tampak dari peningkatan jumlah izin tambang dari hanya 8 ribuan di akhir 2008 menjadi 10.900-an di akhir 2011. Ada 2.900 izin yang terbit pada rentang waktu tersebut.

Berdasarkan data Minerba One Data Kementerian ESDM, pada 2020 terdapat 5.395 IUP yang sebagian besar dikeluarkan pemerintah provinsi. Berdasarkan jenis komoditasnya, yang terbanyak adalah IUP mineral nonlogam dan batuan, sekitar 53%. Lalu, izin untuk tambang mineral logam 25% dan batu bara 22%.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement