Keran Ekspor Mineral Dibuka, Komitmen Smelter Jadi Tanda Tanya
- Pemerintah membuka keran ekspor mineral logam bagi perusahaan yang belum selesaikan komitmen smelter-nya.
- Freeport yang paling diuntungkan dengan adanya aturan tersebut.
- Aturan relaksasi ekspor merupakan kemunduran yang menghambat pembangunan smelter.
Pemerintah menerbitkan aturan baru soal ekspor mineral logam. Perusahaan tambang boleh melakukan itu meskipun kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter-nya belum mencapai target.
Aturannya terbit pada akhir pekan lalu dan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.46.K/MB.04/MEM.B/2021. Perusahaan yang boleh melakukan ekspor tersebut adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi khusus dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Meskipun boleh ekspor, para pemegang izin usaha itu tetap terkena sanksi administratif karena progres smelter yang lambat. Pemerintah menerapkan denda dari nilai kumulatif penjualan ke luar negeri pada periode evaluasi.
Smelter merupakan pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang menjadi produk jadi. Pemerintah sedang mendorong perusahaan tambang melakukan nilai tambah tersebut. Kewajibannya pun tertulis pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara atau UU Minerba pasal 102 ayat 1.
Nah, dengan adanya Keputusan Menteri ESDM yang baru, tentu saja memberi angin segar bagi perusahaan yang belum menyelesaikan pabrik pemurniannya. Misalnya, PT Freeport Indonesia.
Berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, progres pembangunan pabrik pemurnian tembaga Freeport baru 5,86% dari target tahun lalu yang seharusnya mencapai10,5%. Keterlambatan ini terjadi karena pasokan barang dan tenaga kerja yang terganggu di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Sugeng Mujiyanto mengatakan relaksasi aturan itu tidak akan berdampak pada pembangunan smelter.
Relaksasinya hanya diberikan setahun. Setelah itu, aturan sebelumnya akan berlaku kembali. “Target smelter-nya tetap,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (22/3).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin pada akhir pekan lalu mengatakan, pemerintah telah memberikan surat teguran kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) atas terlambatnya konstruksi pembangunan smelter.
Saat ini pembangunannya pun masih dalam tahap pembahasan dengan PT Chiyoda, sebagai partner smelter di Gresik, Jawa Timur. Kegiatan uji pembebanan tiang atau piling test yang seharusnya berjalan pada September 2020, tertunda menjadi November 2020.
Ditjem Minerba lalu mengirimkan surat teguran kepada Freeport untuk segera melakukan pengujian tersebut. Tim dari Direktorat Jenderal juga akan melakukan pengawasan langsung ke lapangan terkait pelaksanaannya.
Terkait keinginan Freeport memindahkan smelter-nya ke Weda Bay, Maluku Utara, Ridwan mengatakan perusahaan belum secara resmi menyampaikan skema kerja samanya. Freeport rencananya akan menggandeng perusahaan asal Tiongkok, Tsingshan, dalam proyek tersebut.
Pemerintah saat ini masih mengevaluasi detail proyek di Gresik. “Khususnya dari askpek keekonomian terkait pengajuan perubahan kapasitas produksi smeter dari 2 juta ton menjadi 1,7 juta ton per tahun,” ucap Ridwan.
Konsep Proses Hilirisasi Mineral Dinilai Cacat
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan konsep hilirisasi telah cacat sejak pemerintah mencanangkannya pada 2009 atau ketika UU Minerba lama disahkan. Penerapannya sangat mahal dan sulit.
“Tujuan hilirisasi adalah supaya tambang mineral memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, bukan hanya sekadar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” Katanya.
Pemerintah harus membuat koreksi mendasar. Bukan hanya relaksasi yang terkesan menjamu tambang-tambang asing semata. Perusahaan nasional juga perlu penguatan.
Perbaikannya terutama dalam hal perizinan lintas departemen, lalu masalah modal dan teknis. Jangan sampai pengusaha domestik yang tidak berpengalaman dipaksa mengikuti standar internasional.
Total realisasi fasilitas pemurnian mineral hingga 2020 sebanyak 19 smelter. Pada 2021 ditargetkan mencapai 23 smelter, 2022 sebanyak 28 smelter, hingga 2024 pemerintah menargetkan 53 smelter.
Kebijakan relaksasi ekspor, menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, merupakan upaya untuk menjaga industri mineral tetap bertahan. Kondisi ekonomi global masih belum pulih sejak pandemi Covid-19 muncul setahun lalu.
"Memang, buat saya, ini seperti pemerintah menjilat ludah sendiri karena kembali memberikan relaksasi bagi pengusaha terkait dengan hilirisasi mineral," kata dia.
Padahal, pemerintah selalu menegaskan hilirisasi adalah utama. Kewajiban nilai tambah bagi sumber daya alam harus pelaku usaha laksanakan. Ekspor produk mineral mentah, seperti bijih nikel, pun dilarang sejak 1 Januari 2020.
Mamit mengatakan, relaksasi ini seharusnya tidak berlangsung lama. Pembangunan smelter akan semakin tertunda apabila pemerintah terus mengizinkan ekspor mineral logam. "Pihak yang untung saya rasa perusahaan yang memang selama ini lambat dalam membangun smelter," ujarnya.
Relaksasi hanya menjadi buying time (mengulur waktu) bagi kalangan pengusaha. Dengan membaiknya ekonomi dan penanganan Covid-19, harapannya, pemerintah dapat lebih tegas kepada para perusahaan tersebut. “Karena ini amanat UU Minerba,” kata Mamit.
DPR Sebut Proyek Smelter Hanya Akal-Akalan
Tidak adanya progres dari smelter Freeport menjadi sorotan Komisi VII DPR. Anggota DPR RI dari Partai Golkar Ridwan Hisjam berpendapat proyek tersebut hanya akal-akalan saja.
Freeport tidak mungkin akan merealisasikannya. Berulang kali pemerintah sudah memberikan revisi tengat waktu pengerjaan tapi realisasinya minim.
Ia mengusulkan pemerintah membangun badan usaha milik negara (BUMN) khusus bisnis hilirisasi tambang. “Kalau ini dibebankan ke mereka (Freeport), kita cuma dibohongi terus,” katanya dalam rapat Kerja dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif siang tadi.
Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi menyebut aturan baru relaksasi ekspor tersebut merupakan kemunduran yang menghambat pembangunan smelter.
Beleid tersebut juga mengacaukan dan menimbulkan ketidakpastian bagi investor smelter yang sudah dan akan masuk di Indonesia. Menurut dia, Freeport dan seluruh pengusaha tambang sangat diuntungkan dengan adanya kebijakan itu. "Namun, bangsa ini dirugikan karena nilai tambah usaha pertambangan tetap saja rendah," ujarnya