Hoaks dan Sikap Elite Politik Picu Keretakan Sosial saat Pemilu
Keretakan sosial berpotensi terjadi akibat kontestasi pemilihan umum yang dipicu penyebaran hoaks dan sikap abai para politisi. Lembaga riset Polmark Indonesia pernah mengadakan survei di DKI Jakarta pada Januari 2017 yang menunjukan keretakan sosial.
Dari survei Polmark itu, sebanyak 4,3% responden mennyatakan hubungan pertemanannya rusak akibat Pilpres 2014. Angka ini meningkat sebanyak 1,4% menjadi 5,7% pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Data di atas menunjukkan adanya potensi retaknya kerukunan sosial karena pemilu," kata Direktur Riset PolMark Indonesia Eko Bambang Subiyantoro di Jakarta, Rabu (29/8).
(Baca juga: Polemik Gerakan #2019GantiPresiden, antara Aspirasi dan Provokasi)
Eko mengatakan, peningkatan tersebut memang kecil jika hanya dilihat berdasarkan angka yang telah dikuantifikasi. Hanya saja, Eko menilai hal tersebut tak bisa dianggap remeh.
Menurut Eko, satu persen responden sebenarnya punya dampak signifikan kepada jumlah pemilih. Jika dibiarkan, hal tersebut bakal berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
"Satu pun menjadi angka yang harus kita pertimbangkan," kata Eko.
Lebih lanjut survei menunjukkan hoaks menjadi ancaman yang cukup serius. Setidaknya 60,8% pemilih mennyatakan pernah menemukan informasi bohong dan fitnah di media sosial.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,2% pemilih sering menemukan hoaks dan fitnah di media sosial. Sebanyak 39,6% lainnya mennyatakan jarang menemukan hal serupa.
Kondisi ini kemudian diperparah oleh para aktor dan partai politik yang abai atas berkembangnya politik identitas dan hoaks yang tersebar di masyarakat.