Tanpa Migas, Indonesia Kehilangan Investasi Hingga Rp 300 Triliun
Industri minyak dan gas bumi (migas) berperan penting dan berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Jika tidak ada sektor ini, Indonesia terancam kehilangan investasi sebesar Rp 300 triliun setiap tahun. Angka ini hampir setengah dari realisasi investasi yang tercatat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang 2016 yang mencapai Rp 612,8 triliun.
Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan, angka tersebut mengacu pada besaran realisasi investasi migas tertinggi sejak enam tahun lalu, yakni mencapai US$ 22,37 pada 2013 lalu. Namun pencapaian itu terus menurun hingga tahun lalu sebesar US$20,42 miliar. (Baca: Investasi Menurun, Cadangan Migas Susut)
Selain itu, tidak adanya sektor migas juga membuat kehilangan penerimaan negara dari pajak dan nonpajak sekitar Rp 90 triliun hingga Rp 350 triliun, tergantung harga minyak atau gas bumi. Pemerintah juga harus merogoh kocek untuk mengimpor migas sekitar US$ 50 miliar per tahun, atau sekitar 42 persen dari total cadangan devisa. Jumlah ini belum termasuk impor elpiji, pelumas dan produk turunan lain.
Namun, kalaupun pemerintah memiliki dana, belum tentu juga mendapatkan sumber energi dari impor karena harus bersaing dengan negara lain. “Kami punya saingan seperti Jepang, India, Cina yang negaranya juga tidak punya pasokan energi yang besar," kata dia.
Dampak lainnya adalah penciptaan nilai tambah ekonomi terhadap sektor pendukung dan pengguna migas akan berkurang siginifikan. Padahal sektor pendukung seperti industri penunjang migas dapat berkontribusi hingga 62,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Sementara kontribusi sektor pengguna hulu migas seperti industri pupuk, petrokimia atau kilang mencapai 25,45 persen.
Ada juga dampak ke tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Setiap Rp 1 triliun investasi hulu dapat menyerap tenaga kerja 13.670 dan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dari gaji sebesar Rp473,76 miliar.
(Baca: Efek Berganda Industri Migas)
Karena itulah, Komaidi meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap sektor migas. "Katakanlah Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ada dalam satu bulan saja, bisa dibayangkan distribusi berhenti total dan terjadi kekacauan nasional," kata dia di Jakarta, Rabu (26/4).
Pemerintah juga terus menggairahkan iklim investasi untuk mencari migas. Jika proses pencarian migas terhenti, cadangan akan menurun. Padahal kemampuan cadangan terbukti minyak saat ini sebesar 3,7 miliar barel.
Rasio kemampuan cadangan produksi juga sekitar 12 tahun. Angka itu hanya sekitar 0,2 persen terhadap cadangan minyak dunia. "Jadi cadangan cuma sebagian kecil," kata dia.
Sementara kemampuan cadangan terbukti gas sebesar 100,30 triliun kaki kubik (tcf), rasio kemampuan cadangan produksi sekitar 37,8 tahun. Adapun kemampuan cadangan sekitar 1,52 persen terhadap cadangan gas dunia.
Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Wargono Soenarko mengatakan saat ini industri jasa penunjang seperti pengeboran juga sudah menurun. Penyebabnya adalah rendahnya harga minyak dunia. (Baca: Iklim Investasi Migas: Peringkat Indonesia Terendah)
Sebagai gambaran, saat harga minyak mencapai US$114 per barel, anggota APMI bisa mencapai 380 perusahaan. Kini tinggal 380 perusahaan.
Jika terus berlanjut maka industri ini bisa lenyap. Padahal industri ini memiliki efek berganda besar. Satu pengeboran sumur migas di darat yang menggunakan satu rig saja membutuhkan 80-100 orang. "Bayangkan kalau tidak ada migas, tidak ada efek berantai seperti itu," kata dia.
Sementara menurut Anggota Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Tutuka Ariadji, pemerintah sulit menjalankan perekonomian tanpa adanya industri migas. Contohnya proyek listrik 35 GW berbahan bakar minyak atau gas. "Bagaimana program listrik bisa tercapai kalau migas tidak ada?" kata dia.
(Baca: Gonta-Ganti Menteri ESDM Turut Pengaruhi Investasi Hulu Migas)
Tutuka meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk pemanfaatan sumber gas yang hingga kini belum juga berproduksi, khususnya di kawasan timur Indonesia seperti Blok Masela dan Blok Kasuri. Potensi gas dari kedua blok itu dinilainya dapat membuat kawasan Indonesia bagian timur bisa makmur dengan adanya sumber pasokan gas untuk menyokong pembangunan industri di sekitar blok.