Tabir di balik jeruji penjara tersingkap. Aktor Tio Pakusadewo mengungkapkan, penjara sebagai tempat yang aman berbisnis narkotika. Dalam wawancara siniar dengan Uya Kuya, dia menyebut narapidana narkotika menguasai hotel prodeo.
“Mereka bikin (narkoba) di dalam,” ujar Tio dalam siniar yang ditayangkan di akun Uya Kuya TV, pada 29 April 2023.
Dia menyebut, seorang narapidana di Lapas Cipinang bahkan bisa mengatur pembuatan narkoba dari dalam sel hingga ke Bandung dan Bali.
Menilik pada 2013, polisi pernah menemukan pabrik sabu di Lapas Cipinang. Pabrik tersebut dikatakan milik jejaring Freddy Budiman, yang saat itu sedang mendekam di Lapas Nusa Batu, Nusakambangan.
Pada 2009, bahkan terungkap terpidana mati Benny Sudrajat mengendalikan beberapa pabrik sabu dari dalam penjara. Benny mengendalikan jejaringnya dari LP Pasir Putih, Nusakambangan.
Menurut Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, mayoritas penghuni lapas merupakan narapidana narkotika. Pada 2021, Mahfud sempat mengatakan akibat kondisi tersebut proporsi lapas menjadi timpang dan kapasitasnya berlebih.
“Lebih dari 200 ribu narapidana atau warga binaan itu separuhnya, 50% itu kasus narkoba,” ujar Mahfud.
Secara angka, Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan jumlah narapidana terbanyak di Asia, yakni 275.518 narapidana. Artinya jika dikonversi menurut hitungan Mahfud, sebanyak 140.000 orang merupakan narapidana kasus narkotika.
Kondisi ini terjadi akibat hukum yang memilih memenjarakan korban penyalahgunaan narkotika ketimbang menempuh jalan rehabilitasi.
Pasal 54 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) No 11 tahun 2014 pun merekomendasikan rehabilitasi pengguna narkotika, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Penjara, menurut peraturan tersebut, bukan tempat para pecandu.
Presiden Joko Widodo juga sempat menargetkan rehabilitasi sebagai napas pengendalian narkotika. Jokowi, panggilan akrabnya, ingin menggenjot pelayanan program rehabilitasi dari semula hanya 18.000 pada 2014, menjadi 100.000 pada 2015, dan 200.000 pada 2016.
Apakah target tersebut tercapai?
Lima tahun setelah BNN mengeluarkan Peraturan Kepala BNN No 11 tahun 2014, mereka menahan sekitar 42.000 tersangka tindak pidana narkotika pada 2019. Dari jumlah tersebut hanya 13.000 orang atau sekitar 30% yang mendapat rehabilitasi.
Jika dibandingkan dengan target rehabilitasi 2016 sebanyak 200.000, artinya hanya 6,7% kasus penyalahgunaan narkoba yang masuk ke pusat rehabilitasi.
Bukannya meningkat, data akhir tahun BNN menunjukkan tren rehabilitasi cenderung menurun. Target rehabilitasi sebanyak 18.000 hanya terealisasi 8,9% pada 2014. Pada tahun berikutnya, realisasi rehabilitasi sempat naik 38%, tetapi realisasinya kembali turun pada 2016, bahkan di bawah persentase dua tahun sebelumnya.
Target yang diharapkan bisa naik ke angka 200.000, tetapi capaiannya hanya 16.185 atau tercapai sekitar 8%.
Alih-alih memutus mata rantai peredaran, memasukkan pecandu ke penjara justru menempatkan mereka berkumpul dengan para pengedar. Apalagi diketahui, pengedar membuat pabrik narkotika di penjara.
Artinya usai dipenjara, pengguna berpeluang kembali menjadi target transaksi narkotika. Dalam survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba (2021) yang dilakukan BNN dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hal tersebut.
Angka penyalahgunaan narkotika “setahun pakai” dan “pernah pakai” pada periode dua tahun menunjukkan tren meningkat. Pada kategori setahun pakai dari sebelumnya 1,8% pada 2019 naik menjadi 1,95% pada 2021. Kemudian kategori pernah pakai naik dari 2,4% menjadi 2,57% pada periode yang sama.
Dengan mengolah data laporan akhir tahun BNN pada 2017-2019, kita dapat menyimpulkan bahwa dibanding rehabilitasi, penjara justru menjadi solusi yang diambil penegak hukum terhadap kasus penyalahgunaan narkotika.
Pada 2017 aparat menangkap 58.365 orang terkait kasus penyalahgunaan narkotika. Sebanyak 18.311 direhabilitasi, lebih 40.000 orang mendapat hukuman kurung. Kemudian pada 2018 sebanyak 44.675 ditangkap, 15.263 orang direhabilitasi, dan 29.412 orang dipenjara.
Pada 2019 ada 42.469 orang tertangkap kasus penyalahgunaan narkotika, sebanyak 13.320 orang dapat direhabilitasi, tetapi 29.149 orang harus dihukum pidana.
Sudah rahasia umum, sistem rehabilitasi untuk korban narkotika bukan jadi alternatif solusi, tapi jalan untuk bertransaksi uang. Fakta ini tersurat dalam pernyataan Budi Waseso saat menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 lalu.
Saat itu Buwas, panggilan karibnya, punya wacana menutup pusat rehabilitasi lantaran rekomendasi rehab dianggap transaksional.
“Kalau ditangkap orang kan ingin direhab bukan dipidana. Nah, rehabilitasi jadi alasan pembenaran, dan pasti ada tawar-menawar, 'kamu mau dipidana atau direhabilitasi? Wani piro? Berani [bayar] berapa kamu?',” ujarnya.
Padahal rehabilitasi punya napas untuk memutus mata rantai penyalahgunaan narkoba. Korban penyalahgunaan narkotika diputus akses untuk tidak mencari narkotika, tidak berada di lingkungan sebelum yang mendukung konsumsi narkotika. Bukan seperti penjara dengan kondisi sebaliknya.
Editor: Aditya Widya Putri