Pantang mundur. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetap melanjutkan penentuan pemenang tender proyek pembangkit listrik Jawa 1. Perusahaan pelat merah ini memberi kesempatan kepada investor yang sudah mengikuti proses lelang untuk merombak struktur konsorsiumnya dalam waktu sesingkatnya.
Kepada Katadata, Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan langkah ini dilakukan guna mengejar target proyek Jawa 1 beroperasi dua tahun yang akan datang. Sebab, Jawa-1 merupakan bagian dari megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt yang paling telat harus beroperasi pada 2019. (Baca juga: Tiga Alasan PLN Hapus Proyek Kabel Laut Sumatera - Jawa).
Sebelumnya, PT Pertamina mengancam mundur dari proses tender Pembangkit Jawa 1. Penyebabnya, PLN mengubah ketentuan syarat lelang. Hal ini bermula ketika PLN mewajibkan peserta memiliki gas sendiri untuk memasok pembangkit dalam pembukaan lelang pada Mei 2015. Berdasarkan syarat ini, Pertamina mencari mitra baru. Lalu, masuklah Total Gas&Power sebagai rekan konsorsium, bersatu dengan mitra lainnya: Marubeni.
Namun pada Mei kemarin, dua bulan sebelum pengumuman pemenang lelang pada 1 Juli mendatang, PLN mengubah ketentuan tersebut. Ketua Konsorsium Pertamina untuk Proyek Jawa 1 Ginanjar mengatakan PLN membuat aturan baru yaitu peserta lelang yang menang harus menggunakan gas dari Lapangan Tangguh di Teluk Bintuni, Papua.
Bagi Pertamina sebenarnya tidak terlalu masalah menggunakan gas dalam negeri. Namun perubahan yang mendadak membuat itu semua proses yang sudah dilakukan sia-sia. Padahal, Ginanjar mengklaim, Pertamina sudah mengeluarkan dana US$ 1,5 juta.
Selain itu, jika sejak awal ditentukan kebutuhan gas harus dipasok dari Tangguh, Pertamina tidak perlu menggandeng Total. Badn usaha migas negara ini cukup menggaet perusahaan konstruksi yang paling murah dan berkualitas, seperti Samsung. (Baca: PLN Ubah Syarat, Pertamina Ancam Mundur dari Proyek Listrik Jawa 1).
Menanggapi keluhan tersebut, Supangkat Iwan Santoso mengatakan perubahan syarat didasarkan pada kepentingan bersama. Bahkan Iwan mengklaim, dengan ketentuan baru ini, pengoperasian pembangkit ini dapat segera berjalan. Di sisi lain, ketentuan sebelumnya yang meminta pasokan gas mesti dari peserta lelang merupakan suatu kesalahan.
Bukan konsisten atau tidak konsisten. Tapi PLN melihat jika dalam proses ini ada yang tidak pas, harus dibenahi. Karena kesalahan pada satu proses ini akibatnya bisa 25-30 tahun. Kami jelaskan ada konsep yang lebih pas,” kata Iwan di Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.
Menurutnya, percepatan pengoperasian tersebut merujuk pada proses financial closing yang lebih mudah. Sebab, perhitungan kebutuhan gas tidak perlu dimasukan karena sudah ditanggung PLN. Sehingga, pendanaannya hanya untuk pembangunan, sehingga memudahkan untuk memasuki tahap konstruksi.
Setelah seluruh konstruksi telah terbangun, PLN dapat menyalurkan gas yang dimilikinya dan pada 2018 pembankit beroperasi. Hal ini berbeda apabila gas harus disediakan oleh investor yang masih harus menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang gas, terlebih lagi jika masih mencari sumber gasnya. (Baca juga: Pemerintah Pertanyakan Kemampuan Pendanaan PLN Bangun Pembangkit).
Iwan pun menyatakan ada dua alasan lain mengapa ketentuan lelang diubah. Pertama, ketentuan ini bukan atas permintaan langsung dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiataan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Hanya, memang ada arahan dari SKK Migas untuk mengutamakan penggunaan gas domestik.
Wakil Kepal SKK Migas M.I Zikrullah membenarkan soal prioritas penggunan gas dari produksi dalam negeri. “Pada dasarnya, optimalisasi pemanfaatan gas domestik harus diutamakan untuk mendukung aktivitas hulu dan terpenuhinya kebutuhan energi,” kata Zikrullah kepada Katadata.
Seperti diketahui, PLN memiliki kontrak Perjanjian Jual-Beli (PJB) gas dengan BP Tangguh sebanyak 45 kargo. Selain itu, ada potensi gas besar di Bontang dan potensi gas di Tangguh yang belum terkontrak. Gas-gas ini lah yang akan digunakan untuk memasok ke pembangkit swasta. (Baca juga: PLN Serahkan Revisi RUPTL di Tenggat Akhir).
Kedua, kata Iwan, dengan menyediakan gas, PLN mengklaim tidak akan mencari untung dari pembelian yang dapat menyebabkan biaya untuk pembangkit semakin besar. Selain itu, PLN dapat membeli dengan volume yang besar dan fleksible untuk memasok ke pembangkit lainnya yang menggunakan gas selain di Jawa-1.
“Misalnya Pembangkit Muara Tawar turun permintaan, bisa dialihkan ke Muara Karang. Itu kalau PLN yang beli gas semuanya. Tapi kalau IPP beli untuk Muara Tawar, ya hanya untuk situ aja, menjadi tidak fleksibel,” ujar Iwan. (Baca: Kisruh Listrik Nias, PLN Berkukuh Tunggu Hasil Audit)
Memang, Iwan mengakui tidak semua proyek lelang pembangkit bertenaga gas memiliki ketentuan seperti ini. Ada bsekitar enam pembangkit di Sumatera, yang investornya masih menyediakan gas. Namun, pembangkit tersebut letaknya di pulau-pulau dan kapasitasnya tidak terlalu besar. PLN sendiri yakin, dengan kontrak gas yang mereka punya dan kepercayaan pemilik gas untuk menjualnya ke PLN maka pasokan gas tidak akan terhambatan.
Terkait dengan ancaman Pertamina untuk mundur, Iwan menyatakan telah membicarakannya, khususnya yang menangani gas untuk mensosialisaikan maksud perubahan ketentuan ini. Dengan memprioritaskan penggunaan gas domsetik, tentu Pertamina dapat memenuhinya karena memiliki sumber gas di Bontang. Dan hal itu mengisyaratkan PLN akan memprioritaskan penggunaan gas milik Pertamina.