Pegiat Lingkungan Kritik UU Minerba Cerminan Dukungan Pada Investor

KATADATA/AJENG DINAR ULFIANA
Ilustrasi, area pertambangan batu bara. Organisasi lingkungan Greenpeace mengkritik pengesahan UU Minerba sarat kepentingan, dan hanya berpihak pada pengusaha pertambangan.
13/5/2020, 14.42 WIB

Disahkannya Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU dicemooh organisasi pegiat lingkungan, Greenpeace.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Hindun Mulaika menilai, pengesahan UU Minerba hanya menguntungkan kaum oligarki, dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Menurutnya, ada pengaruh besar dari para kaum oligarki dalam mempengaruhi pengambilan keputusan ini.

"Salah satunya terkait kepastian perpanjangan Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)," kata Hindun, dalam Webinar Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, Rabu (13/5).

Dalam versi terbaru RUU Minerba, perpanjangan kontrak ini mendapat jaminan perpanjangan. Hal ini ia pandang menguntungkan para perusahaan pertambangan, yang memang membutuhkan kepastian izin pengelolaan batu bara. Apalagi, beberapa perusahaan tambang batu bara memiliki hutang jatuh tempo.

Keberadaan hutang jatuh tempo ini menjadi risiko tersendiri, jika perusahaan tersebut tidak memiliki rencana pembiayaan refinancing plans. Selain itu, pihak perbankan atau kreditor, juga lebih menyoroti soal kepastian izin, agar yakin bahwa perusahaan tambang tidak berisiko besar.

Pendapat senada juga diungkapkan Peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Iqbal Damanik. Menurutnya, pengesahan RUU Minerba yang terkesan terburu-buru ini justru menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi perusahaan tambang.

Selain itu, penambahan dalam Pasal 169 dinilai mencerminkan sikap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya mengutamakan kepentingan investor.

(Baca: Faisal Basri Nilai Pengesahan UU Minerba untuk Selamatkan Kaum Elite)

"Kenapa UU ini tergesa-gesa karena memang ada kebutuhan menolong. Ada beberapa penambahan dalam Pasal 169, bahwa mereka (perusahaan tambang) dijamin perpanjanannya," kata dia.

Di samping itu, tanpa adanya kejelasan kontrak jangka panjang, PKP2B yang akan habis masa kontraknya ini juga tak bakal mendapat jaminan refinancing.

Adapun, terdapat tujuh pemegang PKP2B generasi I yang kontraknya mau habis, di antaranya PT Arutmin Indonesia, yang akan habis izinnya tahun ini, dan PT Kendilo Coal Indonesia, yang akan habis izinnya tahun depan (2021).

Kemudian, PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).

Tak hanya Greenpeace, sebelumnya Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar juga menilai pembahasan RUU Minerba terkesan dipaksakan.

Ia mengkritik klausal "menjamin" perpanjangan kontrak dalam RUU Minerba. Menurutnya, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seharusnya tidak diperpanjang dan dikembalikan kepada negara. Selain itu, dia menyoroti tidak adanya perubahan luas wilayah dalam perpanjangan kontrak.

"Lebih parahnya lagi perpanjangan PKP2B tersebut dengan luas wilayah yang tidak dikurangi, ini jelas tidak adil serta tidak sesuai dengan asas proporsionalitas dan pemerataan pengelolaan sumber daya alam," kata Bisman, kepada Katadata.co.id, Selasa (12/5).

(Baca: Sepakati UU Minerba, DPR dan Pemerintah Menuai Banyak Kritik)

Reporter: Verda Nano Setiawan