Insentif baru untuk produsen batu bara muncul dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Pada klaster pertambangan, di Pasal 39 tercantum aturan pemberian royalti 0% untuk pelaku usaha yang melakukan hilirisasi.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah (Jatam) Johansyah berpendapat pasal tersebut cukup bermasalah dan sarat kepentingan."Itu berarti menggratiskan sumber daya alam. Berbahaya sekali," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (21/10).
Perusahaan batu bara akan mudah meminta insentif dengan alasan mau melakukan hilirisasi. Pendapatan negara, terutama penerimaan negara bukan pajak atau PNBP, berpotensi tergerus.
PNBP di sektor mineral dan batu bara (minerba) pada 2018 mencapai Rp 50 triliun. Sekitar 80% dari angka itu berasal dari setoran pengusaha batu bara. Penerimaan terbesar berasal dari PT Kaltim Prima Coal. Dengan produksi 58 juta ton, anak usaha PT Bumi Resources Tbk itu menyetor PNBP mencapai Rp 6,55 triliun.
Lalu, PT Adaro Energy Tbk dengan produksi 54 juta ton memberikan pemasukan ke negara Rp 5,05 triliun pada 2018. PT Kideco Jaya Agung, anak usaha PT Indika Energy Tbk, menghasilkan 34 juta ton pada tahun itu dengan total PNBP sebesar Rp 3,3 triliun.
Johansyah mengatakan UU Cipta Kerja tidak menjelaskan secara rinci kapan perusahaan dapat mengajukan royalti 0%. Seharusnya, perusahaan mendapatkan insentif itu ketika sudah mengerjakan 50% proyek hilirisasi. Tujuannya, agar kejadian lama tak terulang kembali.
Sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara alias UU Minerba, perusahaan tambang wajib melakukan hilirisasi. Bahkan dalam aturan revisinya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, kewajiban itu masih tercantum. Namun, sampai sekarang realisasinya minim.
UU Cipta Kerja justru memberi celah perusahaan mendapat insentif dengan alasan hilirisan yang belum jelas. "Seperti Freeport, smelter-nya tidak kunjung dibangun. Komitmennya selalu bilang mau bangun smelter untuk memberi nilai tambah,” ujarnya.
Kebijakan Royalti 0% Berpotensi Turunkan DBH Daerah
Ketika pandemi Covid-19 muncul pada awal tahun ini, produsen batu bara sempat meminta relaksasi sementara pengenaan formula pembayaran royalti kepada pemerintah. Pembayarannya cukup mengacu pada harga jual aktual, bukan harga patokan batu atau HPB.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia ketika itu mengatakan pemberian relaksasi tergolong krusial karena penyerapan komoditas itu sangat lemah. Bisnis para produsen pun ikut tertekan.
Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menolak usulan insentif tersebut. Pemerintah beralasan relaksasi royalti berpotensi mengurangi PNBP minerba.
Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Johnson Pakpahan ketika itu menyebut, para pembeli telah memberikan uang muka di awal dalam proses jual-beli batu bara. "Jadi kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga sama-sama mendapatkannya," katanya.
Namun, dalam UU Cipta Kerja ternyata ada kebijakan royalti 0%, meskipun dengan syarat perusahaan harus melakukan hilirisasi. Tanpa royalti, Johansyah mengatakan dana bagi hasil alias DBH ke daerah berpotensi tergerus. Komponennya memang tak hanya berasal dari royalti, tapi cukup signifikan.
Menurut hitungan Jatam, Kalimantan Timur akan menjadi daerah paling terdampak. Provinsi ini menerima royalti batu bara terbesar dibandingkan wilayah lainnya. Perkiraanya sekitar Rp 9 triliun per tahun dan menyumbang lebih dari 60% total produksi batu bara nasional.
Royalti batu bara untuk Kalimantan Selatan mencapai Rp 6 triliun, kemudian Sumatera Selatan Rp 2,5 triliun dan Papua Rp 3 triliun. "Itu royalti doang. Berarti ruginya ada dua. Pendapatan negara dan biaya kerusakan lingkungan siapa yang menanggung karena perusahaan beroperasi 100% tanpa pembatasan,” ucap Johansyah.
Saat dikonfirmasi mengenai hal itu Jonson Pakpahan enggan berkomentar. Pemerintah masih menggodok rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU Minerba. "Saya belum bisa komentar. Kita lihat nanti RPP-nya ke arah mana," kata dia.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Minerba Sujatmiko sebelumnya menyebut royalti 0% tidak akan mengurangi penerimaan negara. Hilirisasi akan mampu menciptakan efek berganda, termasuk membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian daerah.
Dengan efek berganda tersebut, penerimaan negara yang hilang dari royalti 0% akan tersubstitusi. "Daerah mendapatkan dampaknya melalui pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," kata dia beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan dalam Pasal 128A Omnibus Law Cipta Kerja, insentif tersebut sifatnya masih opsional. Hal ini terlihat dalam pemakaian kata dapat diberikan insentif 0% bagi perusahaan yang melakukan pemanfaatan dan pengembangan batu bara di dalam negeri.
Artinya, perusahaan tetap bisa memilih untuk tidak melakukan peningkatan nilai tambah. Royaltinya tetap dapat dikenakan sesuai tarif PNBP.
Pemerintah sebenarnya melakukan langkah lain untuk mencegah turunnya penerimaan negara. Dalam UU Cipta Kerja, batu bara kini masuk dalam daftar barang yang kena pajak pertambahan nilai atau PPN. "Artinya, walau kehilangan potensi royalti, ada pemasukan dari PPN," ujarnya.
Pengusaha Dukung Hilirisasi Batu Bara
Hendra Sinadia berpendapat pemberian royalti 0% tak lantas membuat proyek hilirisasi ekonomis. Investasi proyek itu membutuhkan dana cukup besar dan jangka panjang.
Royalti setiap perusahaan pun selama ini berbeda-beda, tergantung generasi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Misalnya, pemegang kontrak generasi pertama hanya membayar royalti sebesar 13,5%, tanpa melihat kalori.
Hal berbeda terjadi bagi pemegang izin usaha pertambangan. Besaran royaltinya berdasarkan kalori batu bara yang dihasilkan. Untuk kalori rendah, royaltinya 3%. Misalnya, perusahaan memproduksi 20 juta ton batu bara. Dari jumlah itu 2 juta ton berkalori rendah sehingga kena pajak 3%. “Sisanya, kena royalti 5% kalau kalorinya menengah atau 7% untuk kalori tinggi,” ucap Hendra.
PT Adaro Energy Tbk, salah satu pemegang PKP2B generasi pertama, mengatakan mendukung komitmen pemerintah untuk program hilirisasi. “Kepentingan negara nomor satu di atas kepentingan kita semua," kata Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir kemarin.
Perusahaan masih melihat peluang untuk menjalankan program hilirisasi. Opsinya adalah mengubah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) untuk bahan baku elpiji. Selama ini kebutuhan elpiji nasional mencapai 7 juta metrik ton yang diimpor dari luar negeri.
Pria yang akrab disapa Boy itu mengatakan perusahaan tengah melakukan penjajakan mitra dengan pihak asing untuk melakukan kerja sama program hilirisasi. "Daripada uang keluar untuk impor, lebih baik diputar di dalam negeri dan menciptakan lapangan pekerjaan," kata dia.
Soal batu bara kembali kena PPN, menurut dia tak masalah. Pada 1985 hal itu sudah terjadi tapi berubah pada 2001. "Kami netral-netral saja. Saya sebagai pengusaha yakin tidak ada pemerintah di negara manapun yang ingin menyusahkan rakyatnya," ucapnya.