- Pemerintah akan membangun coal processing plant untuk mengamankan pasokan batu bara pembangkit listrik.
- Rencana PLN membuat fasilitas CPP tersebut sejak 2018 berkutat di tahap kajian.
- Produksi batu bara nasional cukup untuk kebutuhan domestik, tapi tata niaganya harus diperbaiki.
Pemadaman listrik membayangi Tanah Air. Pasokan batu bara di pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU menipis. Banjir besar di Kalimantan Selatan pada bulan ini membuat rantai pasok komoditas tambang itu terhambat.
Mayoritas listrik saat ini berasal dari PLTU. Yang terbesar berada di Jawa, Madura, dan Bali alias Jamali. Kawasan inilah yang mengalami ancaman pemadaman listrik paling besar.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyebut beban puncak rata-rata di Jamali sebesar 25 gigawatt. Dari jumlah itu, kontribusi batu bara mencapai 65%.
Cuaca ekstrem dan banjir di Kalsel tidak diantisipasi oleh PLN dan pembangkit listrik swasta dalam mengamankan pasokan. Akses jalan dari tambang menuju pelabuhan tertutup banjir. Pasokan bahan bakar minyak atau BBM untuk truk pengangkut juga tersendat.
Lalu, angin kencang membuat tongkang pengangkut batu bara tidak dapat berlayar. Pengiriman batu bara dari Kalimantan ke Jawa yang biasanya hanya empat hari menjadi lebih dari seminggu.
Dampaknya, stok batu bara menipis. Beberapa pembangkit kondisinya sekarang siaga, darurat, dan kritis. Dalam kondisi normal, cadangan bahan bakar itu seharusnya di atas 15 hari. Saat ini pembangkit dengan cadangan batu bara di bawah 10 hari ada sekitar 12 gigawatt.
Cadangan listrik tersimpan atau reserve margin di Jamali pun turun menjadi sekitar 10%. “Buat kami ini di bawah normal, tidak kelebihan pasokan,” ujar Rida dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (27/1).
Padahal, selama pandemi Covid-19, kawasan ini mengalami over supply dengan reserve margin di atas 30%. Ia memastikan tidak ada pemadaman listrik bulan ini, bahkan Februari hingga Maret. “Sudah ada komitmen dari para produsen batu bara,” ucapnya.
Pemerintah memiliki berbagai opsi apabila pasokan batu bara terus turun. Salah satunya dengan memaksimumkan penggunaan gas di pembangkit. "Kalau pun gasnya mentok, dengan sangat terpaksa kami bakar BBM," ujarnya.
Solusi jangka panjang, Rida mengatakan, pemerintah akan membangun coal processing plant atau CPP. Fasilitas ini untuk mengolah batu bara sebelum diangkut ke pembangkit. Pengoperasiannya diharapkan dapat menjaga stok.
CPP itu nantinya akan dilengkapi teknologi pencampuran atau blending batu bara untuk menyatukan jenis kalori yang berbeda-beda. Dengan begitu, hasil produksinya dapat digunakan untuk PLTU. “Jadi, ke depan mekanismenya tidak end-to-end (antara pengguna dan pemasok) lagi,” ucap Rida.
Domestik Tak Kekurangan Batu Bara
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan batu bara domestik sebenarnya tidak kekurangan. Dari kuota produksi 550 juta ton tahun ini, alokasi dalam negeri alias DMO sekitar 137 juta ton atau 25%.
Pertumbuhannya dalam satu dekade ke depan mencapai 50%. Dengan asumsi, kebutuhan PLN di 2028 mencapai 158 juta ton, hilirisasi 50 juta ton, dan industri 60 juta ton. “Ini berarti, secara absolut, seharusnya tidak mengalami kekurangan batu bara,” ujar Singgih kepada Katadata.co.id.
Setiap PLTU juga memiliki jaminan pasokan dari produsen. Para pemasok ini termasuk pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), izin usaha pertambangan (IUP), PT PLN Batubara (PLNBB), dan trader batu bara lainnya.
Agar kejadian menipisnya stok tak terulang lagi, butuh komitmen dan pengawasan DMO dari pemasok. Penentuan kapasitas stockpile seharusnya dihitung atas kapasitas pembangkit, skala pemasok batu bara, kondisi tambang, fasilitas bongkar-muat pelabuhan, waktu pengataran ke pembangkit, dan kapasitas pembaongkaran.
Pertimbangan yang tak kalah penting adalah cuaca. “Kapasitas cadangan batu bara di kuartal satu hingga empat memang haru berbeda-beda,” ucap Singgih.
Dengan begitu, menurut dia, CPP tidak diperlukan. Yang harus diperbaiki adalah tata niaga batu bara dalam negeri, pengawasan PLN atas kontrak batu baranya, serta implementasi DMO.
Pilihan coal processing plant dapat diperluas menjadi fasilitas pencampuran batu bara atau terminal coal blending facility (TCBF). Fasilitas ini bisa dibangun bukan di dekat lokasi tambang, seperti Kalimantan dan Sumatera.
Kehadirannya dapat mengatasi masalah DMO yang saat ini tidak terbuka untuk semua pemasok. “Banyak produsen, khususnya IUP, yang berkeinginan memasok ke PLN tapi terbentuk kualitas batu baranya,” kata Singgih.
Rencana CPP PLN Tak Ada Perkembangan
Sejak 2018 PLN sebenarnya telah memiliki rencana membangun CPP di sejumlah wilayah pembangkit. Namun, hingga kini progresnya masih belum jelas.
Saat dikonfirmasi kelanjutan pembangunan CPP itu, Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo hanya menjawab singkat. "Masih dalam kajian," kata dia.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat teknologi CPP dapat menjaga kualitas batu bara selama pengiriman. “Efisiensinya jadi meningkat,” katanya.
Pemerintah sebaiknya menyiapkan sumber energi lain untuk pembangkit. Energi baru terbarukan atau EBT di Indonesia potensinya masih besar dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Panas bumi, misalnya, masih belum optimal pemanfaatannya. Begitu pula dengan air, surya, dan angin.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan CPP memang dapat mengamankan pasokan batu bara. Pada saat terjadi hambatan yang menyebabkan kelangkaan, PLN dapat menggunakannya. “Sehingga pemadaman bergilir tidak akan terjadi,” ujarnya.
Namun, menurut dia, untuk menjaga ketahan energi domestik, maka pengembangan energi terbarukan merupakan keniscayaan. Semua potensinya tersedia banyak di dalam negeri. Masalahnya, harga listrik energi bersih masih lebih mahal ketimbang fosil.
Potensi gas di Indonesia pun masih sangat besar. Masalahnya, infrastruktur pipa yang menghubungkan dari lapangan migas ke konsumen, termasuk PLN, belum memadai. Tanpa pembangunan infrastruktur pipa, energi gas belum bisa digunakan sebagai substitusi batu bara.
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa berpendapat pengamanan pasokan batu bara untuk pembangkit melalui CPP sudah tepat. Selain itu, cadangannya harus naik dari 15 hari mnejadi 25 hari.
Cuaca ekstrem tak terjadi setiap saat sehingga perlu respon sistem kebencanaan yang cepat tanggap. "Jadi jangan berpikir untuk langsung ingin mengganti (pembangkit) secara cepat," ucapnya.