- Pertamina akan memanfaatkan teknologi CCS untuk East Natuna.
- Teknologi lama yang selalu terganjal keekonomian.
- Transportasi dan tempat penyimpanan karbon dioksidanya sangat mahal dan tidak mudah.
Wacana mengembangkan Blok East Natuna, Kepulauan Riau muncul kembali. Pertamina, sebagai operator blok migas itu, sedang mengembangkan teknologi untuk mengambil dan menyimpan karbon dioksida (CO2) alias carbon capture and storage (CCS).
Teknologi tersebut juga menjadi upaya memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon. Karbon dioksida yang terkumpul nantinya dapat pula dipakai untuk menginjeksi sumur produksi untuk teknologi pengurasan minyak alias enhanced oil recovery (EOR).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, dengan adanya sirkular karbon ekonomi ini maka emisi karbon dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Perusahaan pelat merah ini pun telah memulai proyek percontohan CCS di Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB), Jawa Timur.
Untuk injeksi awal, Pertamina melakukan uji coba di lapangan minyak Gundih dan Sukowati. “Kami capture, utilize, lalu injeksi ke dua lapangan ini," kata Nicke pada akhir pekan lalu dalam CNBC Indonesia Energy Outlook.
Apabila proyek ini berhasil, perusahaan akan mulai pengembangannya ke Blok East Natuna yang memiliki kandungan karbon dioksida hingga 80%. “(CO2) ini bisa kami tangkap dan manfaatkan untuk lapangan di hulu,” ujar Nicke.
Teknologi CCS Masih Berkutat Pada Keekonomian
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat penelitian mengenai carbon capture, utilization, and storage (CCUS) sudah cukup lama dilakukan di Indonesia. Namun, tahapannya masih sekadar riset dan pengembangan (R&D), terutama terkait pemakaian karbon dioksida untuk teknologi pengurasan minyak
Uji coba CCUS dilakukan di lapangan-lapangan migas seperti Gundih, Sukowati, Limau Niru, dan Blok Tangguh. "Yang Sukowati itu proyek Pertamina EP," ucapnya.
Pertamina telah berhasil menggunakan karbon dioksida dari CCS menjadi produk precipitated calcium carbonate (PCC). PCC dapat dimanfaatkan untuk industri kertas, cat dan polimer, makanan, minuman, dan farmasi.
Lapangan Natuna dengan potensi gas 222 triliun standar kaki kubik (TSCF) dan kandungan karbon dioksida 70% dapat memakai CCS. Namun, tantangan teknologinya adalah pada nilai keekonomian.
Banyak faktor yang menentukan nilai besaran investasinya. Tapi sejumlah studi menunjukan harga karbon dioksida dari CCS sekitar US$ 40 hingga US$ 100 per ton.
Hal serupa juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal katakan. Opsi CSS sebenarnya telah masuk pembahasan sejak tahun lalu.
Selain masalah keekonomian ada sejumlah tantangan lain dalam pemanfaatannya. Salah satunya, logistik. Transportasi karbon dioksida untuk distribusi ke lapangan yang menerapkan EOR sangat mahal dan tidak mudah.
Selain itu, ternyata tidak semua lapangan cocok menerapkan teknologi EOR yang berulang kali disebut pemerintah dapat menggenjot produksi minyak nasional. “Jadi implementasinya pun memiliki tingkat risiko yang tidak kecil. Kebutuhan modalnya pun tidak sedikit,” ujarnya.
Beberapa pihak, menurut Moshe, sering membicarakan EOR tapi lupa dengan risiko dan pengembalian investasinya. Yang dibutuhkan adalah teknologi yang ekonomis dalam mengolah karbon dioksida. “Saya yakin sudah ada analisis kelayakannya, seperti opsi re-injeksi CO2 ke dalam tanah," ucapnya.
Pemerintah Disarankan Percepat Transisi EBT
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menyebut CCS sebenarnya alternatif dari dua situasi. Pertama, Indonesia masih bergantung pada bahan bakar fosil, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.
Kedua, semakin jelas dampak dan bahaya krisis iklim. Sumber dari masalah ini mayoritas dari sektor energi, yaitu pemakaian bahan bakar fosil yang dominan di Indonesia. “CCS dalam banyak hal tidak ekonomis dan secara komersial mungkin baru tersedia di 2030,” kata Tata.
Pengembangan gas bumi, menurut dia, hanya membuat negara ini semakin terkunci dengan bahan bakar fosil. Karena itu, sebaiknya pemerintah mempercepat transisi ke energi baru terbarukan (EBT), seperti energi matahari untuk pembangkit listrik alias PLTS. “Sama-sama butuh teknologi, tapi energi surya banyak tersedia sehingga lebih ekonomis,” ucapnya.
Sebagai contoh, teknologi CCS di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara biayanya cukup mahal. Kisarannya di Rp 17,6 miliar hingga Rp 24 miliar per megawatt, di luar biaya pembangunan pembangkit.
Untuk mengatasi krisis iklim, pemerintah sebaiknya fokus saja pada energi baru terbarukan. Selain lebih ekonomis, sumber daya energi bersih tidak akan habis dan dapat diperbaharui.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini mengalami krisis cadangan gas bumi. Jumlahnya terus berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyebut angkanya saat ini hanya 43,6 triliun kaki kubik (TCF).
Ia mengatakan berkurangnya cadangan lantaran pemerintah memutuskan mengeluarkan Blok East Natuna yang potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik. Langkah ini terpaksa dilakukan karena, sesuai kesepakatan internasional, blok migas dapat masuk hitungan cadangan kalau sumber energinya terbukti dan sudah ada proyeknya.
Sampai sekarang pengembangan Blok East Natuna masih mangkrak. “Dia masih dalam kategori contingent resources. Jadi, belum ada proyek, belum ada buyer,” kata Tutuka dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR beberapa waktu lalu.
SKK Migas telah mengupayakan agar ada investor yang mau menggarap blok gas itu bersama Pertamina. Namun, hingga kini belum ada perusahaan yang tertarik. Skenario pengembangan dan insentif pun telah pemerintah sodorkan.
Sejak ditemukan pada 1973 oleh Agip, blok ini punya dua masalah. Pertama, lokasinya berada di laut dalam. Kedua, kandungan karbondioksida yang mencapai 70% sehingga membutuhkan teknologi mahal untuk memisahkannya dengan gas bumi.
Pengelola blok migas yang dulu bernama Natuna D-Alpha itu adalah Pertamina. Awalnya, hak kelolanya dipegang oleh Pertamina, ExxonMobil, dan PTT Exploration and Production. Namun, dua perusahaan terakhir memutuskan mundur dari konsorsium.
Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Subholding Hulu Pertamina John H Simamora menyebut masalah di Blok East Natuna masih sama seperti dulu. Salah satunya terkait kandungan karbondioksida yang cukup besar.
"Belum ada terobosan teknologi untuk memanfaatkan karbondioksida sebesar itu. Kami bisa dimarahin sedunia (kalau membuang langsung karbondioksida)," kata dia.
Karena itu, Pertamina masih menanti teknologi pemanfaatan gas karbon tersebut. ExxonMobil yang dulu memegang hak kelolanya pun tidak bisa menemukan solusi untuk hal ini.
John mengatakan, secara logika, pengerjaan blok sebesar itu tak bisa dilakukan Pertamina sendirian. Resikonya sangat besar. Tapi perusahaan akan tetap mengikuti arahan pemerintah. “Karena sudut pandangnya bisa berbeda. Pemerintah biasanya lebih komprehensif,” ucapnya.
Teknologi pemanfaatan karbondioksida atau CO2 sebenarnya sudah ada di industri migas. Namun, maksimum kandungannya di angka 20% hingga 30%. Caranya, dengan menginjeksi lagi gas karbon itu ke lapisan tanah yang lebih dalam lagi.
Teknologi CCS di Eropa
Eropa merupakan kawasan yang mengembangkan teknologi CCS dalam skala besar. Pusatnya berada di Mongstad, Norwegia. Riset dan pengembangannya terus digenjot karena cara ini diperkirakan dapat mencegah pemanasan global dan perubahan iklim.
Perusahaan energi internasional Shell, Total, dan Equinor pada tahun lalu memutuskan berinvestasi pada proyek Northern Lights di Norwegia. Konsorsium ini mendapatkan lisensi eksploitasi pertama untuk menyimpan karbon dioksida di Norwegian Continental Shelf.
Melansir dari situs Total, proyek tersebut dapat menjadi langkah penting untuk mencapai tujuan iklim global dalam Perjanjian Paris 2015. “Pengembangan CCS juga mewakili aktivitas dan peluang industri baru di Eropa,” ujar Presiden Eksekutif untuk Teknologi, Proyek, dan Pengeboran Equinor Anders Opeda.
Teknologinya akan menjadi awal dekarbonisasi industri dengan peluang untuk mengurangi CO2. Hal ini pun sejalan dengan target Uni Eropa untuk mengurangi gas rumah kaca menjadi nol pada 2050.
Investasi awalnya akan mencapai 6,9 miliar krone (atau sekitar Rp 11,3 triliun). “Kami mengambil keputusan investasi akhir untuk proyek transportasi dan penyimpanan karbon skala komersial pertama di Eropa,” kata Presiden Energi Terbarukan Total Phillipe Sauquet.
Proyek tersebut akan dikembangkan secara bertahap. Fase 1 mencakup kapasitas untuk mengangkut, menginjeksi, dan menyimpan hingga 1,5 juta ton karbon dioksida per tahun dari sektor industri. Setelah itu, CO2 yang ditangkap akan Northern Lights bawa dengan kapal, lalu diinjeksi dan disimpan secara permanen sekitar 2.500 meter di bawah dasar laut.
Terminal peneriman karbon dioksida itu akan berlokasi di kawasan industri Naturgassparken, Norwegia Barat. Pabriknya dioperasikan dari fasilitas Equinor di terminal Sture dan fasilitas bawah laut platform Oseberg A di Laut Utara. Fase berikutnya akan sangat tergantung pada permintaan pasar dari penghasil emisi di seluruh Eropa.