ESDM: Keekonomian Jadi Tantangan Besar Hilirisasi Batu Bara

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.
Ilustrasi. Kementerian ESDM menyebut keekonomian masih menjadi tantangan besar proyek hilirisasi batu bara.
Penulis: Sorta Tobing
9/3/2021, 13.59 WIB

Proyek tersebut, menurut Fuad, berpotensi tidak hanya menghasilkan dimethyl ether. “Kami sedang menyiapkan industri hilirisasinya. Tapi prioritasnya tetap batu bara ke DME,” katanya. 

Harga DME

Soal keekonomian, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Hasto Wibowo menyebut harga DME tidak boleh lebih mahal daripada elpiji. “Kalau lebih mahal, maka subsidi yang pemerintah berikan akan lebih besar,” ujarnya.

Kondisi itu bakal bertentangan dengan tujuan awal gasifikasi batu bara, yaitu untuk mengurangi impor dan subsidi elpiji. Harga DME yang ideal adalah batas bawahnya melindungi investor, sedangkan batas atasnya tidak membebani pemerintah dan masyarakat.

Saat ini pembicaraan mengenai harganya masih terus berlangsung. “Kami harapkan akan mengerucut pada angka yang fair dan memperhatikan kepentingan berbagai pihak,” kata Hasto.

Rentang harga yang ideal, menurut dia, US$ 330 sampai US$ 420 per metrik ton. “Ini doable,” ujarnya. 

Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir harga elpiji rata-rata adalah US$ 470 per metrik ton. Kehadiran DME, harapannya, dapat mendorong industri hilirisasi batu bara untuk menghasilkan produk petrokimia, seperti methanol

Sebelumnya, studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyimpulkan proyek gasifikasi batu bara terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.

Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.

Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.

Halaman: