Jejak Hitam Chevron di Pembangkit Listrik Blok Rokan

123RF.com/sergeiminsk
Ilustrasi.
31/3/2021, 16.00 WIB

BPK sebenarnya juga sempat menyinggung ketidakberesan ini pada 2006 lalu. Hal ini berdasarkan temuan yang terungkap dalam hasil pemeriksaan semester pertama tahun itu.

Mengutip hukumonline.com, BPK menemukan biaya listrik dan steam yang dimintakan kembali ke pemerintah sejak Chevron Pacific Indonesia melakukan kerja sama dengan MCTN diragukan kewajarannya. Proses ini mengakibatkan kerugian bagi pemerintah sebesar US$ 210 juta dan merugikan negara sebesar US$ 1,23 miliar. 

Katadata.co.id mencoba meminta konfirmasi kepada pihak Chevron mengenai hal tersebut. Manager Corporate Communications Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo menyatakan Chevron Standard Ltd mendukung kegiatan transisi blok Rokan ke operator berikutnya.

Setiap kegiatan transisi, terdapat berbagai hal yang didiskusikan. "Namun, sebagai kebijakan perusahaan, kami tidak dapat memberikan detail diskusi tersebut," kata Sonitha.

Ilustrasi Blok Rokan.  (Dok. Chevron)

Skema Pembelian Listrik Chevron Rugikan Negara

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat apa yang dilakukan oleh Chevron selama ini dengan membeli listrik lebih mahal dari MCTN sangat merugikan negara. Aparat penegak hukum perlu turun untuk menyelidiki kasus ini.

Kasus tersebut menyebabkan beban cost produksi mereka menjadi lebih tinggi. Apalagi, MCTN sahamnya 95% dimiliki oleh Chevron. 

Opsi melelang pembangkit yang dilakukan Chevron, menurut dia, merupakan perbuatan yang melawan negara. Pasalnya, pembangkit MCTN berada di aset negara dan seharusnya dikembalikan. 

Apalagi, biaya operasionalnya selama ini juga dibayarkan negara dengan skema cost recovery. “Jadi, saya kira MCTN harus kembali ke negara dan diserahkan kepada Pertamina atau PLN untuk mengelola pembangkit tersebut," kata dia.

MCTN, ia mengatakan, telah menunjuk JP Morgan untuk menilai aset pembangkitnya. Bank investasi dan penyedia layanan keuangan itu telah mengeluarkan hasil penilaian dan menyebut pembangkit tersebut masih mampu beroperasi 40 tahun lalu.

Mamit berpendapat angka itu tidak wajar karena aset yang umurnya lebih dari 20 tahun masih dinilai begitu tinggi. Dugannya, ini merupakan upaya Chevron, melalui MCTN, untuk mendapatkan keuntungan maksimal. 

Apalagi, PLN memiliki kelemahan. Apabila ingin membangun jalur transmisi dan distribusi sendiri maka perusahaan setrum negara butuh waktu tiga tahun. Kondisi ini hanya membuat aset MCTN menjadi lebih mahal. Chevron dapat mencari penawar lebih tinggi dalam opsi tender. 

Dampak ke depannya pun makin runyam, terutama jika swasta atau asing memenangkan lelang tersebut. Harga listriknya menjadi tidak terkontrol. Tidak ada jaminan pula swasta mau dikontrak tiga tahun saja karena penilaian JP Morgan dapat mencapai 40 tahun. 

“Buntutnya, produksi Blok Rokan dapat terganggu apabila masalah listrik ini tidak selesai,” kata Mamit. 

Kondisinya berbeda apabila PLN yang menang. Dalam perjanjian jual beli listrik dan uap dengan Pertamina Hulu Rokan beberapa waktu lalu, harganya telah ditentukan di awal. 

Mamit mengatakan, MCTN harus membatalkan tender tersebut dan memberikan kepada PLN untuk menjadi prioritas utama sewa disana. Bahkan jika perlu, pemerintah meminta perusahaan untuk memberikannya kepada negara. "Saya mendesak penegak hukum untuk menyelidiki transfer pricing yang dilakukan oleh Chevron," kata dia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat, dalam transisi Blok Rokan banyak hal sebenarnya dapat diantisipasi Pertamina dan pemerintah. Namun, hal itu tidak dilakukan.

Untuk membangun pembangkit baru ataupun mengambil alih milik Chevron akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Chevron pun telah mempunyai posisi dalam hal ini sehingga ia melihat kurangnya rencana yang matang dari pihak Pertamina maupun pemerintah.

Chevron mempunyai kuasa pertambangan sampai saat kontrak beralih. Segala dukungan perusahaan untuk transisi ini sifatnya sukarela. Tidak ada kewajiban selama mereka tidak melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Moshe mengingatkan segala tindakan yang negara ini lakukan akan dipantau oleh para investor dan pelaku migas dunia. Kejadian ini dapat dijadikan referensi mereka kedepannya dalam rencana berinvestasi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan