Pemerintah berencana membatasi pembangunan smelter nikel baru setelah 2024, terutama untuk smelter nikel kelas dua yang menghasilkan feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI). Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun mendukung rencana ini.
Pasalnya, berdasarkan data APNI, industri hilir khusus nikel yang akan dibangun, baik smelter pyrometallurgy dan hydrometallurgy, mencapai 98 perusahaan. Rinciannya yaitu 25 sudah berproduksi, 41 dalam tahap konstruksi, dan 32 masih memproses perizinan.
Dari data tersebut, kebutuhan bahan baku bijih nikel mencapai 255 juta ton per tahun. Sementara data cadangan terukur bijih nikel hanya 4,6 miliar ton. Dengan demikian industri hilir nikel diprediksi hanya bertahan maksimal 18 tahun. Itu pun dengan kondisi bijih nikel kadar tinggi (di atas 1.6%) hanya 1,7 miliar ton.
Sementara, jika industri pirometalurgi hanya menggunakan bijih nikel kadar tinggi maka umur pabrik ini hanya 7 tahun. "Maka dengan ini APNI mendukung pemerintah untuk melakukan pembatasan smelter kelas 2 (NPI/FeNi)," kata APNI dalam keterangan tertulis, Senin (28/6).
Meski demikian, APNI berharap pemerintah tetap mengundang investor untuk berinvestasi pada produk akhir turunan nikel, seperti stainless steel, baterai dan mobil listrik.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2024 sebanyak 53 smelter akan beroperasi, dengan 30 di antaranya merupakan smelter nikel. Rinciannya yaitu 13 smelter nikel yang sudah terbangun dan 17 lainnya masih dalam rencana. Simak databoks berikut:
Selain itu, APNI juga merekomendasikan pemerintah untuk membatasi ekspor produk kelas dua (NPI/FeNi) minimal 30-50% untuk lokal. Sehingga pabrik dalam negeri seperti Krakatau Steel dapat memproduksi olahan nikel yaitu stainless steel atau olahan logam lainnya.
Menurut APNI dalam mendukung industri hilir nikel, diperlukan ekosistem yang terarah dari hulu hingga hilir, terutama dalam rantai pasok bahan baku dan tata kelola niaga transaksi bijih nikel yang sesuai Permen ESDM No 11/2020. "Saat ini masih banyak transaksi bijih nikel yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku," ujar APNI.
Padahal Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan telah membentuk tim kerja untuk pengawasan tata niaga nikel dalam negeri. Tim ini dibentuk melalui Keputusan Menko Marves RI Nomor 108 Tahun 2020 tentang Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel.
Untuk itu, dalam rangka mendukung industri hilir nikel, khususnya untuk industri stainless steel dan baterai dalam negeri, APNI menyoroti sejumlah hal yang harus diperhatikan pemerintah.
Pertama, perlunya pembatasan kadar bijih nikel yang diizinkan untuk diperjual-belikan guna menjaga ketersediaan cadangan dan optimalisasi bijih nikel kadar rendah. Hal ini seiring semakin banyaknya perusahaan smelter dan HPAL yang beroperasi.
Kemudian, perlunya kegiatan eksplorasi yang mendetail untuk seluruh wilayah pertambangan. Sehingga didapatkan data sumber daya cadangan nikel dan mineral pendukung lainnya yang akurat. "Untuk menunjang kebutuhan bahan baku smelter dan HPAL yang semakin banyak berdiri di Indonesia," tulis APNI.
Berikutnya, harga bijih nikel diterapkan sesuai dengan HPM dalam Permen 11/2020 dan melalui Kepmen yang diterbitkan setiap bulan oleh Menteri ESDM. Di samping itu, perlun mengoptimalkan kembali kerja dari Satgas HPM dalam melakukan pengawasan transaksi bijih nikel di lapangan.
Lalu, untuk menghindari monopoli, maka smelter disarankan untuk menggunakan surveyor independen terdaftar secara merata. Hal ini agar hasil analisa lebih cepat dapat diperoleh.
Kemudian, kebutuhan akan bijih nikel untuk HPAL dengan syarat spesifikasi yang ditentukan oleh pabrik, dikhawatirkan tidak akan terakomodir maksimal oleh penambang karena syarat MGO. Kondisi yang sama saat ini untuk kebutuhan pirometalurgi kebutuhan akan saprolite bijih nikel kadar yang tinggi yaitu diatas 1,8% dengan syarat SiO/MgO maksimum 2,5.
Pemerintah juga perlu mengoptimalisasi pabrik hilir nikel dengan pembatasan investasi baru, dan mendukung investasi yang sudah berjalan di Indonesia. Terakhir, pemerintah perlu mengangkat Indonesia dalam kancah industri logam dunia, dengan memacu pabrik dalam negeri untuk produk akhir industri.