Bila Batu Bara Ditinggal, Aset Terdampar Tambang & PLTU Capai Rp 375 T

Katadata/Ratri Kartika
PLTU Muara Laboh.
27/8/2021, 16.28 WIB

Dunia semakin berkomitmen untuk melakukan dekarbonisasi dengan melakukan transisi ke sumber energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan batu bara akan menjadi fokus transisi karena menyumbang sekitar 30% dari emisi karbon global.

Salah satu dampak dari transisi ini adalah turunnya permintaan batu bara, dan ketika transisi telah tercapai, akan muncul aset terdampar (stranded assets) tambang batu bara dan PLTU yang nilainya sangat besar.

Indonesia termasuk salah satu negara yang berniat meninggalkan batu bara dan PLTU untuk mencapai target bebas emisi karbon pada 2050. Berdasarkan kajian Institute for Essential Service Reform (IESR), jika itu terjadi maka akan ada aset terdampar senilai US$ 26 miliar atau sekitar Rp 375 triliun.

"Turunnya permintaan batu bara akan berdampak besar terhadap Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulis, Jumat (27/8).

Penulis kajian Coal as Stranded Assets: Potential Climate-related Transition Risk and Its Financial Impacts to Indonesia Banking Sector, Hadi Prasojo mengatakan transisi energi akan membuat aset sektor batu bara mengalami devaluasi bahkan menjadi tidak dapat digunakan.

"Risiko itu sudah disampaikan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD)," kata dia.

Nilai aset terdampar tambang batu bara dan PLTU di Indonesia pun masih berpotensi membengkak. Pasalnya, pemerintah masih berencana menambah kapasitas PLTU dan mengembangkan industri hilir batu bara. Apalagi kelayakan ekonomi proyek hilirisasi tersebut masih diragukan dengan perlunya berbagai insentif.

Industri hulu atau pertambangan batu bara juga berpotensi menjadi aset terlantar sebab cadangan batu bara tidak bisa digali terus menerus serta harus tetap berada di bawah permukaan bumi.

Agar risiko aset terdampar di industri batu bara tidak mengancam stabilitas keuangan nasional, pemerintah perlu segera mengeluarkan beberapa kebijakan seperti dukungan terhadap proyek hijau dan melibatkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG) dalam kriteria kelayakan aset.

Komitmen Penghentian Batu Bara Negara Maju

Fabby mengatakan bahwa komitmen penghentian penggunaan batu bara ditunjukkan secara nyata oleh sejumlah negara maju dengan tenggat waktu yang jelas.

Jerman berkomitmen setop mengonsumsi batu bara sebelum tahun 2038. Jepang dan Korea, yang merupakan negara yang menjadi sumber pendanaan batu bara, juga telah mengumumkan akan menghentikan pendanaan untuk proyek batu bara di luar negeri.

Secara khusus, Jepang menyatakan tidak akan mendanai PLTU yang tidak memiliki teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS). Jepang bahkan berencana untuk mendorong dekarbonisasi sistem energi di Asia Tenggara dengan mengembangkan inovasi dan teknologi terutama hidrogen dan amonia.

"Penting untuk memastikan berjalannya komitmen penghentian pembiayaan batu bara di luar negeri dari Korea, Jepang dan negara maju lainnya. Selanjutnya, perlu juga menekankan agar investasi dari negara maju harus beralih ke pembangunan energi terbarukan," kata Fabby.

Dia menilai investasi dari luar negeri akan berperan signifikan dalam pembangunan jaringan modern energi terbarukan dan mengatasi risiko ekonomi dan sosial dari transisi energi. Oleh sebab itu, IESR memandang agar Indonesia segera memberikan sinyal yang jelas dalam melaksanakan kebijakan perubahan iklim.

“Saat ini regulasi Indonesia masih kuat mendukung batu bara sehingga menimbulkan kesulitan bagi investor asing untuk menyalurkan investasi yang mendukung sektor hijau” ujar Managing Director, Solutions for Our Climate (SFOC) Joojin Kim.

Reporter: Verda Nano Setiawan