The Economist Intelligence Unit memprediksi permintaan energi dunia pada tahun depan naik 2,2% menjadi 13.410 juta ton setara minyak (million tonnes of oil equivalent/mtoe). Prediksi ini lebih tinggi dari capaian tahun 2019 yakni sebelum dunia dilanda pandemi Covid-19. Namun, prediksi itu masih lebih rendah dari pertumbuhan permintaan energi tahun ini yang bangkit setelah mengalami kontraksi 4,5% pada 2020.
"Sebagian besar pertumbuhan permintaan akan datang dari sektor kelistrikan seiring dengan proses elektrifikasi perekonomian global (mulai dari digitalisasi hingga transportasi/kendaraan listrik) berlanjut," tulis laporan EIU yang dirilis Rabu (17/11).
Menurut laporan ini, konsumsi seluruh komoditas energi akan meningkat pada 2022, termasuk batu bara yang permintaannya sempat terpuruk akibat pandemi, akan meningkat pada 2022. Konsumsi batu bara diprediksi naik 1,5% secara tahunan, hampir secepat pertumbuhan konsumsi gas alam.
Sementara konsumsi minyak, yang juga terdampak cukup parah kontraksi ekonomi global 2020 diproyeksi tumbuh 2,7%. Sama halnya dengan tenaga surya dan angin yang diramal tumbuh 10,6% seiring semakin kencangnya transisi energi global.
Satu-satunya konsumsi energi yang turun adalah nuklir, walau hanya 0,8% secara tahunan dibandingkan 2021. Penurunan ini disebabkan banyaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang yang belum kembali dioperasikan sejak bencana gempa bumi Fukushima pada 2015 silam.
Laporan ini menyebutkan bahwa sebenarnya Cina dan India membangun banyak PLTN, namun belum akan operasional dalam waktu dekat. Dengan permintaan yang meningkat, harga komoditas energi pun diramal ikut naik
"Dengan asumsi kesepakatan produksi OPEC+ tak berubah, kami memprediksi harga minyak akan berada di kisaran US$ 78,5 per barel pada 2022, naik dari rata-rata US$ 71,7 per barel pada 2021. Kami juga menaikkan proyeksi harga gas alam dan LNG secara signifikan, khususnya di Eropa," tulis EIU.
Harga gas diperkirakan tetap tinggi hingga kuartal II 2022 karena dunia masih berupaya meningkatkan pasokannya. Namun harga berpotensi semakin tinggi jika produksi tetap rendah, atau turun signifikan jika investor memutuskan untuk berinvestasi lebih besar pada gas untuk memanfaatkan tingginya harga.
Krisis energi di Eropa dan Cina baru-baru ini telah memicu perdebatan tentang kurangnya investasi dalam proyek-proyek energi konvensional karena dana global terfokus pada investasi berkelanjutan. Simak databoks berikut:
Namun investasi ini memukul negara-negara OPEC+, yang sebagian besar ingin memaksimalkan pendapatan dari harga minyak di tahun-tahun mendatang untuk mendanai diversifikasi ekonomi dan rencana transisi energi mereka.
Target emisi akan mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Meski prospek konsumsi energi membaik, banyak perusahaan perlu melakukan tinjauan terhadap strategi mereka pada tahun 2022, karena proses transisi energi ini. Pemerintah pun berusaha memenuhi janji yang dibuat pada konferensi iklim PBB (COP26).
Di antara janji-janji tersebut yaitu 23 negara, termasuk Polandia dan Indonesia, setuju untuk menghapuskan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara secara bertahap mulai 2030 untuk negara maju, atau 2040 untuk negara berkembang.
"Banyak negara juga akan mengesahkan peraturan yang lebih ketat yang mendorong pertumbuhan EBT, menerapkan pajak karbon atau mendorong elektrifikasi transportasi di tahun mendatang," tulis laporan EIU.
Pembiayaan Hijau Jadi Ancaman Energi Fosil
Mengamankan pembiayaan sektor swasta juga akan menjadi lebih sulit bagi perusahaan bahan bakar fosil pada 2022, sebab investasi hijau akan mengalir ke proyek pengembangan EBT dan teknologi hemat energi, target emisi juga akan mendorong divestasi.
Prospek eksplorasi minyak dan gas, serta pertambangan batu bara, sangat tidak pasti. COP26 menghasilkan janji yang tidak mengikat antara lebih dari 20 negara, termasuk AS dan Kanada, untuk menghentikan pendanaan proyek bahan bakar fosil asing pada akhir tahun 2022.
Sebagian besar negara Asia menolak untuk menandatangani janji tersebut, tetapi China secara terpisah berjanji untuk tidak berinvestasi dalam proyek batubara asing. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun pemodal swasta akan berhati-hati dalam menyetujui lelang atau proyek baru, dan beberapa bahkan mungkin membatalkan proyek yang direncanakan.
Ini akan meningkatkan risiko aset terlantar (timbul ketika perusahaan tidak dapat lagi menarik investasi untuk ekstraksi), terutama dalam bisnis bahan bakar fosil. Banyak perusahaan minyak besar sudah mulai melakukan divestasi dari proyek minyak dan gas di Afrika, Amerika Latin dan di tempat lain karena transisi energi.
Hal yang sama bahkan lebih berlaku untuk batu bara: Vale Brasil termasuk di antara mereka yang akan menjual aset fosilnya. Perusahaan lain, seperti Shell, berpendapat bahwa mereka membutuhkan pendapatan minyak dan gas mereka untuk berinvestasi dalam bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.