Sejumlah pihak menilai kebijakan harga gas industri US$ 6 per MMBtu (metric million British thermal unit) perlu ditinjau ulang. Sebab, selain membuat pendapatan negara turun, kebijakan ini juga berpotensi mengganggu investasi di hulu gas.
"Jika minat investasi turun tidak hanya penerimaan gas yang berkurang tapi dalam jangka panjang bisa tidak ada lagi penerimaan negara dari hulu gas karena tidak ada yang mau memproduksikan lagi," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada Katadata.co.id, Selasa (18/1).
Sebelumnya SKK Migas mengungkapkan penerimaan negara dari sektor migas turun US$ 1,2 miliar pada 2021, salah satunya imbas kebijakan tersebut. Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan potensi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan harga gas industri tahun ini akan lebih besar.
Pasalnya ada usulan untuk menambah industri-industri baru yang dapat menikmati harga gas khusus. "Ada usulan dari Kementerian Perindustrian terkait tambahan sektor industri," ujar Arief dalam Konferensi Pers secara virtual, Senin (17/1).
Kemenperin mengusulkan sektor industri yang menerima harga gas khusus ditambah menjadi 13 industri dari 7 saat ini. Usulan ini masih dibahas bersama dengan Kemenko Marves, Kementerian Investasi, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Kemungkinan yang disetujui 10 industri, tetapi masih belum final," kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri perlu mendapat perbaikan dan masukan dari berbagai pihak.
Ia menilai kebijakan insentif gas yang berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dinilai kurang tepat sasaran dan berisiko merugikan keuangan Negara dalam jangka panjang.
“Bisa dibayangkan kerugian negara cukup besar. Pendapatan negara dari hulu migas sepanjang 2020 hanya US$ 460 juta. Jumlah itu jauh dibawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$ 6 itu diberlakukan pada Juni 2020 yakni US$ 1,39 miliar. Artinya ada potential loss bagian negara pada saat harga gas sedang tinggi," kata Bhima.
Penyaluran gas dengan harga khusus ke industri menimbulkan beberapa permasalahan seperti formulasi penetapan harga gas khusus dan kriteria penerimanya. Penyaluran insentif harga gas khusus seharusnya sama dengan penyaluran subsidi gas pada umumnya.
Menurut dia perlunya kejelasan soal formulasi harga, kriteria penerima dan mekanisme pengawasan merupakan hal yang melekat dalam kebijakan gas khusus. "Tetapi dalam prakteknya, masalah transparansi dan evaluasinya sangat minim sehingga kurang tepat apabila insentif gas langsung diperluas ke sektor usaha lainnya,” katanya.
Sehingga skema penetapan harga gas khusus menimbulkan banyak pertanyaan. Formulasi penurunan harga gas ke titik tertentu idealnya bukan sekedar membandingkan bahwa negara lain khususnya di ASEAN memiliki harga gas yang lebih murah. Perbandingan tersebut tidak bersifat apple to apple.
Sebenarnya terdapat salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai acuan dalam formulasi harga gas. Salah satunya yaitu natural gas rent yang menggambarkan selisih antara nilai pasar gas bumi suatu negara dan seluruh biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkannya dibandingkan dengan produk domestik bruto.
Selama periode tahun 2010-2019, natural gas rent Indonesia hanya dua kali menembus angka 1% dan masih lebih rendah dari rata-rata historis Thailand dan Malaysia. Perkembangan kebijakan harga gas untuk industri juga perlu dipertimbangkan kembali karena harga gas di pasar internasional naik cukup signifikan dalam 1 tahun terakhir.
Bhima menilai berkah kenaikan harga gas karena naiknya permintaan secara global berisiko tidak optimal dirasakan oleh pemerintah maupun BUMN, hal ini karena selisih harga jual gas yang terlalu rendah dibanding harga gas yang seharusnya berlaku di pasar.
Sementara, setelah satu setengah tahun implementasi kebijakan penurunan harga gas, serapan konsumsi gas oleh industri dirasa belum optimal. Terdapat beberapa industri yang dianggap kurang dapat memanfaatkan insentif tersebut dengan baik. Efektivitas dari harga gas khusus industri dinilai masih rendah.
“Beberapa industri yang diberikan subsidi harga gas khusus tidak memiliki kinerja yang cukup positif. Kapasitas industri relatif rendah, bahkan tidak mampu bersaing dengan produk impor meski telah diberikan harga gas khusus. Oleh karena itu wacana perluasan penerima subsidi gas untuk industri sangat prematur,” kata Bhima.
Studi yang dilakukan CELIOS menyarankan pemerintah untuk melakukan perubahan mekanisme harga gas khusus berdasarkan perkembangan harga gas internasional serta mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, dan efektivitasnya bagi industri manufaktur.
Poin masukan yang berikutnya, formulasi harga gas industri sebaiknya dikaji ulang secara komprehensif melibatkan para ahli yang independen sehingga penetapan harga gas khusus bisa terhindar dari bias kepentingan politik dan konflik kepentingan.
Formulasi harga gas industri juga disarankan untuk dibuka kepada publik sehingga terjadi pengawasan yang lebih ketat. Dalam kajian yang berjudul Kebijakan Nasional Gas yang Berkelanjutan Bhima menyebut bahwa pemerintah diminta jangan terlalu sering memberikan diskresi kebijakan di sektor migas.
Frekuensi diskresi yang sering dilakukan pengambil kebijakan terkait dengan harga gas memberikan ketidakpastian yang tinggi baik bagi pemain migas, BUMN, maupun pengguna gas dalam hal ini adalah investor dan pelaku usaha.
Dia pun menyarankan supaya model kebijakan yang sifatnya diskresi mulai dihindari, dan lebih mendorong perbaikan tata kelola kebijakan yang berkelanjutan. Isi kajian juga merekomendasikan kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar melakukan audit investigasi secara menyeluruh terhadap risiko kerugian negara terkait insentif harga gas industri yang tidak tepat sasaran.
Hasil audit tersebut diperlukan sebagai dasar penindakan apabila terjadi penyimpangan dalam kebijakan maupun praktik harga gas khusus industri.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan sudah memperingatkan akan potensi penurunan penerimaan negara jauh-jauh hari, terutama saat kebijakan ini dikeluarkan. Dia menilai efek pengganda dari industri yang mendapatkan fasilitas tidak akan sebesar berkurangnya penerimaan negara untuk kebijakan itu.
Belum lagi kebijakan ini menggerus keuangan PGN juga tergerus pendapatannya karena kebijakan ini. Sehingga menyebabkan mereka tidak bisa berinvestasi secara maksimal dalam mengembangkan jaringan pipa distribusi dan transmisi.
"Padahal infrastruktur adalah alat utama dalam penjualan gas . Oleh karena itu, saya kira perlu adanya evaluasi terhadap kebijakan ini," ujarnya.
Mamit pun mendesak supaya industri yang memang tidak mampu dalam mengoptimalkan kegiatan produksi mereka sebagai pengganti berkurangnya penerimaan negara lebih baik dicabut saja. Jangan justru di tambah lagi perusahaan penerima harga gas khusus.