Kajian IEEFA Ungkap Proyek DME Indonesia Banyak Konflik Kepentingan

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
Pekerja dibantu alat berat memulai pembangunan proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Tanjung Lalang, Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022).
27/1/2022, 12.05 WIB

Rencana pemerintah menggantikan impor LPG dengan DME sebagai bahan bakar memasak dinilai akan sulit tercapai. Lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melaporkan akan ada konflik kepentingan dalam pelaksaaan proyek ini.

Pemerintah Indonesia dinilai akan sulit untuk memenuhi kepentingan-kepentingan bisnis para pihak yang terlibat. Adapun, perusahaan asal AS yakni Air Products and Chemicals Inc (APCI) berkomitmen menggelontorkan US$ 15 miliar untuk pembangunan industri gasifikasi batu bara di Indonesia.

"Banyak pernyataan optimis yang dibuat tentang rencana hilirisasi batu bara Air Products ini di Indonesia. Tetapi kami melihat akan sulit bagi para pihak yang terlibat untuk dapat mewujudkan mimpi mereka secara bersamaan," ujar Peneliti sekaligus penulis laporan IEEFA, Ghee Peh, dalam keterangan tertulis, Kamis (27/1).

Laporan ini sendiri difokuskan pada proyek senilai US$ 2,1 miliar yang pernah diumumkan sebelumnya untuk membangun sebuah pabrik DME di Sumatera. Khususnya yang menjadi subyek laporan IEEFA pada November 2020.

Semua pihak yang terlibat di dalamnya seperti PTBA sebagai pemasok batu bara, Air Product sebagai operator pabrik DME, dan Pertamina bertindak sebagai off-taker DME. Menurut dia para pihak tersebut akan sulit untuk dapat mencapai tujuan bisnis mereka di waktu yang bersamaan.

Untuk mencapai ambisi tersebut, skenario yang dibutuhkan adalah adanya pengurangan risiko stranded asset tambang PTBA, terjadinya pengembalian investasi yang rendah, risiko untuk membayar kembali pabrik DME yang dibangun oleh Air Products, serta keuntungan dari penjualan DME bagi Pertamina.

Dalam laporan ini menyebutkan bisnis model yang biasa dijalankan Air Products adalah dengan sebisa mungkin mengurangi risiko harga komoditas, sehingga memastikan terjadinya pengembalian investasi secara efektif.

Namun bagi PTBA, dengan model bisnis berisiko rendah ini dirasa sulit untuk diterapkan, sehingga konflik kepentingan tersebut akan diteruskan kepada off-taker, Pertamina.

Sementara, jika proyek tersebut disertai dengan harga jual DME yang lebih tinggi. Maka pemerintah perlu memberikan subsidi melalui Pertamina, supaya DME dapat dijual dengan harga yang terjangkau untuk konsumen rumah tangga Indonesia.

Ketidaklayakan ekonomi dari proyek-proyek yang diusulkan ini semakin diperumit dengan sulitnya menghitung harga DME. Pasalnya harga batu bara, LPG dan minyak cenderung bergerak beriringan ke arah yang sama.

“Selama 20 tahun terakhir, harga DME hanya lebih murah dari LPG selama 15 bulan, atau sekitar 6% dalam rentang waktu tersebut, jika kita berbicara perbandingan apple to apple,” kata Peh.

Laporan IEEFA menunjukkan subsidi pemerintah yang serupa dengan subsidi LPG saat ini dibutuhkan oleh DME, karena tingginya harga produksi sebesar US$ 601 per ton, yang sudah mencakup 15% margin produksi DME untuk Air Products.

Sedangkan dari sisi pemerintah, penghematan hanya akan bisa didapatkan apabila harga LPG di atas level tertentu, setidaknya sekitar US$ 858 per ton.

“Karena ini hanya terjadi selama 6% dalam 20 tahun terakhir, maka proyek DME dalam bentuknya saat ini tidak akan dapat menjustifikasi penghematan apapun, dan juga tidak akan dapat memuaskan keempat stakeholders tersebut sekaligus," kata Peh.

Reporter: Verda Nano Setiawan