Berkah Kenaikan Harga Energi Tak Cukup Menambal Beban Subsidi BBM

ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Petugas memeriksa kondisi tabung gas elpiji tiga kilogram saat pengisian elpiji ke dalam tabung di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (22/1/2020).
25/4/2022, 17.03 WIB

Pendapatan dari keuntungan yang tak terduga atau windfall dari tingginya harga minyak dan gas (migas) dunia dinilai tidak cukup untuk menutupi tanggungan subsidi energi yakni untuk menjaga harga BBM Pertalite, solar, dan LPG 3 kilogram (kg) di bawah keekonomiannya.

Deputi Bidang Koordinasi dan Pengembangan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Montty Girianna, mengatakan windfall yang diperoleh dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas paling banter hanya sekitar Rp 100 triliun.

Nominal tersebut menurutnya jauh di bawah anggaran yang pemerintah belanjakan untuk subisidi energi yang diperkirakan mencapai Rp 277 triliun.

“Engga cukup. karena lihat asumsi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sampai US$ 100 per barel itu butuh tambahan sekitar Rp 277 triliun. Jadi kalaupun ada windfall Rp 100 triliun dari migas itu masih kurang," kata Montty dalam Energy Corner pada Senin (24/4).

Adapun faktor penentu lonjakan subsidi BBM dan LPG bertumpu pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mengacu pada Mean of Platts Singapore (MOPS). Pasalnya, pembelian atau impor BBM oleh Pertamina mengacu pada MOPS.

"Dengan fluktuasi itu, kita lihat gap (jarak) antara harga Pertalite dan harga keekonomian dan harga solar. Lalu LPG, harga keekonomiannya makin ke sini, makin bengkak," tambahnya.

Montty menjelaskan, saat ini Pemerintah menglokasikan dana subsidi LPG senilai Rp 66 triliun dengan asumsi awal harga minyak yang ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 hanya US$ 63 per barel.

Sementara, jika harga ICP naik menjadi US$ 100 per barel, diperkirakan subsidi LPG bengkak hingga Rp 130-150 triliun. “Jadi kalau kita stay harga LPG di Rp 4.250 per kg, harus nambang Rp 130 triliun untuk LPG 3 kg,” sambung Montty.

Selanjutnya, untuk menanggung beban biaya subsidi solar dan Pertalite Pemerintah diharuskan nombok Rp 277 triliun jika asumsi harga ICP berada di harga US$ 100 per barel. Angka ini lebih besar dari asumsi ICP US$ 63 per barel yang menghasilkan perkiraan subsidi dan kompensasinya senilai Rp 140-an triliun.

“Tentu windfall itu akan dimanfaatkan, tapi tetap saja itu kurang. Harus ada kenaikan harga. Berapa naiknya? Itu yang menjadi perhatian bersama, karena baru selesai efek pandemi Covid-19. Kami merekomendasikan (naikkan) harga Pertalite, solar dan gas LPG 3 kg karena banyak PR lain juga yang harus di-cover APBN,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan pemerintah selalu berdalih bahwa kenaikkan harga minyak dunia yang mencapai di atas US$ 100 per barrel menjadi alasan utama untuk menaikkan harga BBM.

Fahmy menambahkan, pemerintah selalu mengatakan apabila harga BBM tidak dinaikkan maka beban subsidi akan menjebolkan APBN. Namun di sisi lain, pemerintah hampir tidak pernah menyebut bahwa kenaikkan harga minyak dunia itu secara simultan juga akan menaikkan pendapatan migas negara.

“Kalau PNBP migas masih belum mencukupi untuk menambal subsidi, pemerintah bisa menggunakan pendapatan windfall dari batu bara,” kata Fahmy kepada Katadata.co.id Senin (25/4).

Fahmi menilai, pendapatan dari PNBP migas dan windfall batu bara semestinya mencukupi untuk tetap memberikan subsidi dan mencegah kenaikkan harga BBM.

Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia menyebut, pemerintah bisa menahan selisih harga keekonomian LPG 3 kg melalui mekanisme subsidi silang hasil windfall penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan.

Berdasarkan simulasi kenaikan harga minyak mentah, diproyeksi pemerintah sedang alami lonjakan pendapatan pajak dan PNBP sekitar Rp 100 triliun. Lebih lanjut, kata Bhima, jika defisit kembali bengkak karena subsidi energi, maka efisiensi belanja pemerintah dan penundaan mega proyek seperti IKN juga wajib dilakukan.

“Sebagai bayangan IKN menurut Bappenas butuh setidaknya Rp 468 triliun dan 53,3% akan diambil dari APBN hingga 2024. Tidak ada jalan lain karena urgensi saat ini adalah stabilitas harga pangan dan energi bukan pemindahan gedung pemerintahan,” kata Bhima beberapa waktu lalu, Kamis (14/4).

Bhima berharap, wacana naiknya harga komoditas energi bersubsidi segera dihentikan. Pasalnya, kenaikan satu jenis yang diatur pemerintah seperti LPG 3 kg berisiko terhadap daya beli 40% kelompok pengeluaran terbawah sangat besar.

“Inflasi diperkirakan tembus 5% di 2022 apabila pemerintah bersikeras naikan harga Pertalite dan LPG 3 kg secara bersamaan,” ujarnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu