Bahan Bakar Hijau Tak Laku di Indonesia, Pertamina Jelaskan Musababnya

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Kendaraan mengisi bahan bakar di salah satu SPBU kawasan Cikini, Jakarta, Senin (20/7/2020).
5/7/2022, 16.20 WIB

Pertamina memilih untuk mengekspor produk bahan bakar hijau ketimbang memasarkannya ke dalam negeri. Hal tersebut dilakukan karena minimnya permintaan dan harga produk yang tinggi. Bahan bakar hijau yang dimaksud adalah Bio Avtur dan Pertamina Renewable Diesel (RD) yang diproduksi di Kilang Pertamina IV Cilacap.

Sekretaris Perusahaan Subholding Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani, mengatakan terbatasnya industri hijau di tanah air menjadi pertimbangan Pertamina untuk menjual dua bahan bakar nabati itu ke pasar Eropa dan Asia.

"Karena harga produk masih tinggi dan permintaan di sektor industri hijau sangat terbatas, maka belum feasible untuk retail. Sebagai alternatif, maka dicoba pasar luar negeri yang memang demand-nya sudah terbentuk," kata Milla kepada Katadata.co.id Selasa (5/7).

Milla menambahkan, saat ini penggunaan bahan bakar hijau yang umum di pasar dalam negeri hanya Biodiesel 30 (B30) yang merupakan mandat pemerintah. Adapun Pertamina RD pernah digunakan untuk sumber energi genset saat ajang Jakarta E-Prix pada Sabtu (4/6).

Saat ditanya perihal harga jual per liter dan negara mana saja yang menyatakan tertarik dengan Pertamina RD, Milla enggan menjawab. "Pertamina RD masih penjajakan ke beberapa industri hijau di Indonesia dan untuk Bio Avtur masih tahap pernah digunakan untuk uji terbang," sambung Milla.

Adapun bahan bakar hijau adalah bahan bakar minyak yang memiliki karakteristik mengurangi emisi gas rumah kaca dan diproduksi dengan bahan bakar unsur nabati. Tidak seperti bahan bakar fosil yang melepas emisi gas rumah kaca.

Saat ini, bahan bakar hijau yang diproduksi Pertamina adalah Bio Avtur, Pertamina RD dan B30. Dua komoditas bahan bakar hijau itu nantinya akan dijual ke pasar dalam negeri jika ekosistem pasar sudah terbentuk. "Tidak khusus ekspor. Bio Avtur sampai saat ini masih ditargetkan untuk local market," ujar Milla.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyampaikan bahwa Pertamina harus memberikan sosialisasi dan publikasi yang masif kepada masyarakat dan pelaku industri agar bahan bakar hijau bisa diserap di dalam negeri.

"Karena kita juga gak tahu harganya berapa, dampaknya seperti apa, dan jika sudah bicara tentang bio yang berasal dari sawit ada kekhawatiran terkait dengan kadar air. Apakah ini sudah aman. Terkait Bio Avtur perlu juga sosialisasi ke maskapai penerbangan," kata Mamit kepada Katadata.co.id.

Mamit melanjutkan, ekosistem pasar yang belum terbentuk di dalam negeri disebabkan akibat ketidaktahuan masyarakat karena kurangnya sosialisasi dan publikasi yang dilakukan oleh Pertamina.

"Begitu juga dengan bahan bakar dari minyak jelantah,bisa juga digunakan sebagai bio energi mengolah kembali minyak kelapa menjadi bahan bakar. Harusnya minyak jelantah sudah banyak pasarnya," ujar Mamit.

Masih menurut Mamit, bahan bakar hijau memiliki potensi besar untuk diserap di pabrik dan industri perkapalan di dalam negeri. Namun semua itu tergantung pada harga jual dan kualitas bahan bakar yang ditawarkan. "Pabrik-pabrik yang masih menggunakan solar itu saya kira menjadi pasar yang cukup besar," ujar Mamit.

Sebelumnya, Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap memiliki program green refinery dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Green refinery Pertamina di Kilang Cilacap saat ini memproduksi tiga bahan bakar hijau yakni green gasoline, green avtur, dan green diesel.

Mulyono sebagai Process Engineer Kilang Cilacap mengatakan bahwa saat ini unit pengilangan IV mampu mengolah 2.500 barel per hari minyak sawit menjadi bahan bakar nabati (BBN). Selain dari bahan baku minyak sawit, RU IV juga bisa mengolah minyak jelantah menjadi BBM. Program ini rencananya bakal dimulai pada 2025.

Salah satu produk green fuel yang dibuat oleh perusahaan minyak milik negara itu yakni Pertamina Renewable Diesel (RD). Meski demikian produk bahan bakar hijau tersebut tidak mampu diserap oleh pasar dalam negeri.

"Produknya sudah ada dan sementara ini sedang tahap menjajaki pembeli dari luar negeri," kata Mulyono saat ditemui di Rumah Sakit Pertamina Cilacap pada Selasa (28/6).

Dia menjelaskan, saat ini seluruh produk green diesel maupum Pertamina RD akan ditujukan untuk pangsa ekspor ke Eropa. Hal ini dilakukan karena belum adanya pasar atau ekosistem di dalam negeri yang mampu menyerapnya. Nasib serupa juga menimpa BBM dari hasil pengolahan minyak jelantah.

Walau sudah ada produk dan keinginan untuk penjualan ke luar negeri, PT Pertamina hingga saat ini belum bisa melakukan ekspor pada hasil produk olahan mereka. Pasalnya, pihak Pertamina masih mengurus izin ekspor ke Kementerian Perdagangan.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu