Menteri ESDM: 71 Perusahaan Tak Penuhi DMO Batu Bara kepada PLN

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (14/5/2022).
9/8/2022, 15.10 WIB

Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan bahwa ada 71 perusahaan batu bara yang tidak melaksanakan kewajiban penjualan untuk dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sebesar 25% dari total produksi untuk sektor kelistrikan.

Arifin membeberkan, dari 123 perusahaan yang wajib suplai batu bara ke PLN sebesar 18,89 juta ton, hingga Juli 2022 baru ada 52 perusahaan yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut. "Sampai Juli realisasinya 8 juta ton. Itu dari 52 perusahaan," kata Arifin dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada Selasa (9/8).

Arifin menjabarkan, 71 perusahaan batu bara yang tidak melaksanakan penugasan terdiri dari 5 perusahaan yang terkendala cuaca ekstrem ditambang dan 12 perusahaan yang spesifikasi batu baranya tidak sesuai dengan kebutuhan PLN.

Selain itu, ada 2 perusahan tambang yang belum beroperasi karena masalah lahan dan 4 perusahaan diklaim mengalami kesulitan mendapatkan sewa dan moda angkutan batu bara. Selanjutnya, ada 48 perusahaan yang tidak melaporkan.

"Pemberian sanksi badan usaha yang tidak melaksanakan penugasan tanpa ada keterangan yang jelas, maka fitur ekspornya pada Aplikasi Minerba Online Monitoring System (MOMS) akan diblokir," sambungnya.

Lebih lanjut, kata Arifin, sejumlah pelaku usaha batu bara lebih memilih membayar sanksi dan denda daripada tidak menjual batu bara secara ekspor. Hal itu disebabkan karena harga batu bara di pasar ekspor lebih tinggi dari harga jual untuk DMO sebesar US$ 70 per ton.

Arifin memaparkan, kebutuhan batu bara dari tahun ke tahun akan terus menigkat. Pada tahun ini rencana kebutuhan batu bara sebanyak 119 juta ton. Angka ini naik jadi 126 juta ton pada 2023 dan kembali melonjak menjadi 140 juta ton pada 2024.

Harga batu bara di pasar Ice Newcastle pada Jumat (5/8), pekan lalu bertengger di US$ 346,75 per ton. Walau mengalami penurunan 5% dari pekan kemarin, harga pasar ini tetap jauh lebih tinggi dari harga DMO PLN.

"Mereka cenderung lebih memilih membayar denda sanksi dan kompensasi dibandingkan dengan nilai ekspor yang bisa diperoleh," ujar Arifin. Simak pergerakan harga batu bara dunia pada databoks berikut:

Sebelumnya diberitakan, Wakil Presiden Eksekutif Batu Bara PLN, Sapto Aji Nugroho mengatakan disparitas harga antara harga jual ke pasar ekspor dan harga jual ke PLN yang dipatok US$ 70 per ton merupakan masalah akut yang perlu diatasi.

Dengan adanya disparitas harga tersebut, Sapto Aji menjabarkan, terdapat selisih sekira Rp 190 miliar yang diperoleh pelaku usaha untuk pengiriman batu bara ke luar negeri per 1 kapal vessel dengan muatan 70.000 ton batu bara.

"Bisa dibayangkan perbedaan 1 kapal vessel 70.000 ton itu kalau perusahaan membawa ke dalam negeri dan dia dibawa ke luar negeri bedanya hampir Rp 190 miliar. Ini yang buat kami (PLN) di dalam negeri sulit mendapat pasokan.

Selain itu, Sapto Aji juga menjelaskan bahwa ketimpangan nilai besaran pinalti yang dikenakan kepada penambang juga menjadi salah satu faktor seretnya pasokan batu bara ke PLN.

Penambang yang berkontak dengan PLN akan terkena pinalti berupa denda yakni sebesar harga pasar ekspor yang berlaku dikurangi harga batu bara dengan patokan HBA US$ 70. Untuk batu bara kalori 4.600 maka besaran denda adalah US$ 188 per ton.

Singkatnya, saat perusahaan mempunyai kontrak dengan PLN dan tidak memenuhi kontrak dalam negeri, maka perusahaan tersebut akan mendapatkan denda sampai US$ 188 per ton.

Sementara penambang yang tidak berkontrak dengan PLN walaupun spesifikasi batu baranya dibutuhkan oleh PLN hanya dikenai pinalti berupa kompensasi. Untuk batu bara kalori 4.600, besaran kompensasi hanya US$ 18 per ton.

"Sehingga orang tentu tidak mau memilih berkontrak lah di dalam negeri, mereka lebih baik membayar kompensasi saja. Ini menurut kami permasalahan yang menciptakan kondisi yang lebih memilih tidak berkontrak dengan PLN. Mereka akan memilih membayar kompensasi US$ 18 per ton," ujarnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu