Stigma bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak dan gas (migas) dinilai tak lagi tepat disematkan kepada Indonesia. Pasalnya, produksi minyak di Tanah Air terpantau terus menurun, khususnya sejak 1998.
Sejak 2003, Indonesia justru menjadi net importer minyak lantaran menyusutnya produksi tetapi konsumsi terus bertambah. Dengan kata lain, untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, Indonesia malah bergantung kepada minyak impor.
"Harus kita sadari tanpa adanya perubahan mindset dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman (jargon; Indonesia adalah negeri kaya minyak), upaya-upaya yang ada hanya menjadi business as usual," ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, dikutip media saat membuka 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas secara virtual, Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Lebih jauh, selama sepuluh tahun terakhir, impor minyak Indonesia rerata 109 juta barel. Negeri ini juga mengalami defisit impor sekitar 35,17 juta barel khususnya selama 2016 – 2021.
Kegiatan impor tersebut disebabkan, dengan kapasitas operasional kilang berkisar 800 ribu barel per hari (bph), output alias realisasi produksi minyak mentah sekitar 660 ribu bph saja. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengimpor minyak mentah dan produk-produk olahannya, seperti BBM.
Apabila digunakan asumsi kisaran produksi minyak 700 bph maka cadangan minyak terbukti di Tanah Air cuma bisa memenuhi kebutuhan sekitar sembilan tahun saja.
Pasalnya, pada 2021, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa cadangan minyak Indonesia sebesar 3,95 miliar barel. Cadangan ini terdiri atas 2,25 miliar cadangan terbukti dan 1,7 miliar cadangan potensial.
Jumlah cadangan tersebut turun jauh dari 7,73 miliar barel pada 2011. Saat itu, cadangan terbukti tercatat sebesar 4,04 miliar barel dan cadangan potensial 3,69 barel.
Terkait penurunan produksi minyak yang terus berlangsung sampai sekarang, sebetulnya sedang diupayakan sejumlah upaya guna menahan arus penurunan.
SKK Migas melansir, pelaku industri hulu migas tengah berusaha mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari, dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.
Semua ini merupakan kondisi riil yang terjadi pada negeri ini. Sudah waktunya negeri ini sadar dan melepaskan diri dari stigma tak tepat yang menyebut bahwa Indonesia adalah negeri kaya minyak, sehingga BBM harus terus dijual “murah”.
Harga bahan bakar minyak saat ini mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dan anggaran subsidi serta kompensasi energi tahun ini nilainya melonjak tiga kali lipat, yakni dari Rp152,5 triliun dalam APBN 2022 awal menjadi Rp502,4 triliun. Kondisi ini berisiko semakin membebani APBN mengingat nilai tersebut menembus kisaran 10 persen dari PDB.
Sebelum ada penyesuaian harga baru-baru ini, harga eceran BBM sebetulnya terus di bawah harga keekonomian. Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diketahui, solar misalnya, seharusnya harga jual eceran di level Rp13.950 per liter, tetapi yang berlaku di pasaran Rp5.150 per liter.
Pertalite, harga idealnya Rp14.450 per liter tetapi dijual Rp7.650 per liter. Pertamax, harga jual seharusnya Rp17.300 per liter, dijual Rp12.500 per liter. Sementara itu, untuk LPG 3 kg sepatutnya dijual Rp18.500 per kilogram, saat ini dijual ecer Rp4.250 per kilogram.
Dengan kata lain, kendati termasuk jenis BBM nonsubsidi tetapi Pertamax dijual di bawah harga keekonomian alias dijual rugi oleh Pertamina. Oleh karena itu, jika harga BBM pertalite dan solar jadi naik maka pertamax pun diyakini akan ikut naik.