Kemenperin Diminta Tinjau Cadangan Nikel Sebelum Beri Izin Smelter

Katadata
Ilustrasi bijih nikel
Editor: Lavinda
28/8/2023, 18.11 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta Kementerian Perindustrian untuk memperhitungkan umur cadangan bijih nikel saprolit sebelum memberi izin usaha industri atau IUI smelter nikel yang berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan hal itu bertujuan untuk menjaga ketahanan cadangan bijih nikel saprolit dengan kadar 1,5%-3% yang hanya bertahan hingga 15 tahun ke depan.

"Mestinya dilihat juga ketersediaan cadangannya. Jadi tidak langsung diizinkan untuk mendirikan smelter," kata Wafid di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (28/8).

Melansir laporan Kemenperin edisi 8 Juni 2023, terdapat 36 smelter dengan IUI yang beroperasi saat ini. Tiga di antaranya sudah menerapkan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang dapat mengolah bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% untuk produksi komoditas lanjutan mixed hydroxide precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP).

Kemenperin juga mencatat kebutuhan bahan baku untuk smelter yang beroperasi saat ini mencapai 113,9 juta ton bijih nikel per tahun. Lebih lanjut, masih ada 17 smelter yang masuk dalam tahap pembangunan konstruksi dan tujuh smelter sedang melakukan studi kelayakan atau feasibility study (FS).

Dengan demikian, akan ada 60 smelter dengan proyeksi kebutuhan bijih nikel sebanyak 196,8 juta ton per tahun. "IUI itu diberikan sembari melihat kondisi cadangan bijih nikel kita punya berapa," ujar Wafid.

Pembatasan penyediaan smelter RKEF dinilai penting untuk menambah alokasi suplai bijih nikel untuk smelter HPAL. Hal ini juga dilakukan untuk menutup potensi impor bijih nikel untuk bahan baku.

Limitasi pembangunan smelter nikel RKEF ditujukan untuk menjaga pasokan bijih nikel untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai. Moratorium penyediaan smelter RKEF dinilai penting untuk menambah alokasi suplai bijih nikel untuk smelter HPAL.

Rencana penyetopan investasi pada pengadaan smelter nikel berteknologi RKEF dinilai mendesak karena produksi nickel pig iron (NPI) dan feronikel domestik yang berlebih. Kelebihan produk olahan bijih nikel kadar tinggi 1,5-3% itu belakangan menyebabkan harganya makin tertekan.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE), Taufik Bawazier mengatakan kebutuhan nikel kadar rendah untuk bahan baku baterai kendaraan listrik akan naik berkala tiap tahun.

Kemenperin memproyeksi kebutuhan bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% pada 2025 mencapai 25.133 ton. Kebutuhan tersebut naik menjadi 37.699 ton pada 2030 dan 59.506 ton pada 2035.

"Kalau kami dari kacamata perindustrian memang harus lebih tinggi lagi nilai tambahnya. Cuma kan memang harus ada investasi dulu yang masuk ke sana," kata Taufik di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Kamis (8/6).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu