Perusahaan holding pertambangan BUMN, PT Mining Industry Indonesia (MIND ID) resmi menjadi pemegang saham mayoritas PT Vale Indonesia Tbk usai mengakuisisi 14% saham tambahan dengan harga Rp 3.050 per lembar.
Direktur MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan total investasi yang digelontorkan sekitar US$ 300 juta atau Rp 4,68 triliun dengan nilai kurs yang berlaku saat ini. Hendi juga menyebut transaksi akuisisi saham divestasi akan rampung pada Juni 2024 menggunakan kas internal.
“Kira-kira US$ 300-an juta dan itu dibayar selesai Juni ini, dan ada yang melalui mekanisme pasar modal,” ujarnya usai penandatanganan transaksi jual beli saham Vale Indonesia dalam rangka divestasi di Hotel Pullman, Jakarta pada Senin (26/2).
Dengan rampungnya transaksi divestasi ini, MIND ID kini menggenggam saham Vale Indonesia sebesar 34%, naik dari sebelumnya 12%, sementara itu Vale Canada Limited menggenggam 33,88% dan Sumitomo Metal Mining 11,48%, serta publik 20,63%.
Penandatanganan perjanjian jual beli saham ini disaksikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, serta Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Profil PT Vale Indonesia
Vale Indonesia merupakan pertambangan bijih nikel yang berdiri pada 25 Juli 1968 dengan nama PT International Nickel Indonesia (INCO), dan telah menggenggam kontrak karya (KK) dari pemerintah. Meski begitu perusahaan ini telah melakukan eksplorasi sejak 1920-an.
Dua tahun setelah pendirian, Vale, yang masih berbendera INCO sebelum diakuisisi oleh Vale Canada Limited pada 2011, mengirimkan sampel pertama dari bijih Sulawesi sebanyak 50 ton ke fasilitas penelitian di Port Colborne. Ontario, Kanada.
Percobaan di fasilitas peleburan reduksi baru menunjukkan bahwa bahan dari Sorowako bisa diolah. Pengolahan nikel telah menjadi fokus Vale bertahun-tahun sebelum pemerintah memandatkan hilirisasi mineral. Vale telah menjalankan pabrik pengolahan di Sorowako sejak 1977.
Peresmian pabrik ini bahkan dihadiri oleh Presiden Soeharto. Setahun berselang atau pada 1978, Vale memulai kegiatan komersialnya. Kemudian pada 16 Mei 1990, Vale yang masih berbendera INCO resmi melantai di pasar modal Indonesia.
Hak Vale untuk mengembangkan dan mengoperasikan proyek nikel dan mineral mineral tertentu lainnya di daerah yang sudah ditentukan di pulau Sulawesi didasarkan atas KK yang ditandatangani pada 27 Juli 1968 dengan pemerintah.
Kontrak ini kemudian diubah dan diperpanjang pada 15 Januari 1996, dan terakhir diamandemen pada 17 Oktober 2014, atau KK 2014, seperti yang diamanatkan Undang-Undang Pertambangan 2009.
Berdasarkan ketentuan KK 2014, KK Vale akan berakhir pada 2025 dan dapat mengajukan untuk melanjutkan operasinya dalam bentuk izin usaha untuk jangka waktu perpanjangan dua kali sepuluh tahun, setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah.
Selain itu, KK 2014 juga mengatur mengenai komitmen Vale untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa dalam negeri, serta mengenai komitmen investasi yang sejalan dengan strategi pertumbuhan Vale.
Sejak didirikan, Vale telah membangun tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yakni PLTA Larona yang mulai beroperasi pada 1979 dengan kapasitas 165 megawatt (MW), PLTA Balambano yang mulai beroperasi pada 1999 dengan kapasitas 110 MW, dan PLTA Karebbe yang didirikan pada 2007 dan mulai beroperasi pada 2011.
Pada 2013, Vale memulai tahap pertama proyek konversi batu bara. Melalui penggantian HSFO dengan batubara serbuk untuk dimasukkan ke dalam tanur pengering. Selain lebih murah, batu bara juga merupakan sumber daya lokal sehingga penggunaannya dapat lebih meningkatkan kontribusi Vale bagi perekonomian Indonesia.
Vale juga pernah menjalin kerja sama dengan perusahaan lain untuk mengelola nikel. Hal ini terjadi pada beberapa waktu lalu, tepatnya 2022 adanya peletakan batu pertama dimulainya Indonesia growth Project atau IGP Pomala kerjasama Vale bersama Huayou untuk pengembangan fasilitas pengolahan nikel dengan investasi US$ 4,5 miliar.
Proyek ini akan mengoperasikan pabrik berteknologi HPAL untuk menghasilkan 120.000 ton nikel dan sekitar 15.000 ton kobalt yang terkandung dalam produk mhp.
Kontrak Karya dan Wilayah Konsesi
Dalam KK 2014 yang saat ini berlaku, Vale memiliki luas konsesi sebesar 118.017 hektare (Ha) meliputi Sulawesi Selatan (70.566 Ha), Sulawesi Tengah (22.699 Ha) dan Sulawesi Tenggara (24.752 Ha).
Ditulis dalam laman resmi perusahaannya, Vale menambang nikel laterit untuk menghasilkan produk akhir berupa nikel matte. Rata-rata volume produksi nikel per tahun mencapai 75.000 metrik ton. Dalam memproduksi nikel di Blok Sorowako, Vale menggunakan teknologi pyrometalurgi (meleburkan bijih nikel laterit).
Vale juga melanjutkan rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel beserta fasilitas pendukungnya di Sambalagi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dan di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Proyek di Bahodopi direncanakan untuk membangun pabrik pengolahan untuk memproses bijih saprolit dan menghasilkan feronikel yang merupakan bahan utama dalam pembuatan baja nirkarat.
Untuk Pomalaa, proyek yang saat ini dikembangkan adalah untuk memproses bijih nikel limonit dengan menggunakan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) untuk menghasilkan produk yang dapat diolah menjadi bahan utama baterai mobil listrik.
Jalan Panjang Divestasi
Vale wajib melakukan divestasi saham kepada pemerintah sebagai syarat perpanjangan KK yang akan berakhir pada 2025 menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Hingga saat ini, Vale Indonesia tercatat telah melakukan tiga kali divestasi saham. Pertama, pada 1990. Menteri ESDM Arifin Tasrif menceritakan kronologi divestasi saham ini dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VII DPR RI di Gedung DPR RI, Selasa (13/6).
Arifin menceritakan, pada tahun tersebut PT Vale melepaskan 20% sahamnya melalui Bursa Efek Indonesia dan menjadi perusahaan terbuka. Pelepasan 20% saham ini berdasarkan Surat Dirjen Pertambangan Umum tertanggal 23 Agustus 1989.
Saat itu pemerintah memutuskan tidak membeli saham perusahaan. "Pemerintah meminta perusahaan untuk melakukan penawaran saham melalui Bursa Saham Jakarta atau badan pelaksana pasar modal," ucap Arifin.
Pada 2014, persoalan divestasi saham Vale kembali menghangat. Pemerintah mengatakan akan melakukan amandemen kontrak karya Vale Indonesia. Dalam amandemen tersebut Vale berkewajiban untuk melakukan divestasi lebih lanjut sebesar 20% sehingga total kepemilikan nasional mencapai 40%.
Lima tahun berselang, Vale Indonesia kemudian melakukan perjanjian pendahuluan divestasi tahap kedua Inalum untuk 20% saham perseroan. Sebelum akhirnya pada 2020 divestasi saham tahap kedua terlaksana.
Vale melepas 20% saham mereka kepada negara, melalui MIND ID. “Pengalihan kepemilikan 20% saham Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau sekarang menjadi MIND ID sehingga saham peserta nasional sudah mencapai 40%," kata Arifin.
Tak berhenti disitu, Vale Indonesia juga masih harus melepas kembali kepemilikan saham mereka kepada negara. Hal ini berkaitan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara atau Minerba.
Aturan tersebut menyebut bahwa Vale wajib melepas 51% saham kepada pihak lokal. Perusahaan paling tidak masih harus kembali melepas 11% sahamnya untuk memenuhi syarat tersebut.
Divestasi saham Vale yang ketiga ini menjadi syarat bagi Vale mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Konsesi pertambangan perusahaan akan berakhir pada 28 Desember 2025.
Hingga akhirnya penandatangan divestasi saham Vale yang ketiga dapat terlaksana kemarin, dan menandakan pihak Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas dari perusahaan tersebut.