Pemerintah Terbitkan 45 Sertifikat ISPO untuk 43 Perusahaan Sawit

Arief Kamaludin|KATADATA
Buah kelapa sawit hasil panen di salah satu perkebunan di Riau.
Editor: Ekarina
28/3/2019, 17.18 WIB

Komisi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kembali menyerahkan 45 sertifikat ISPO kepada 43 perusahaan perkebunan dan dua koperasi swadaya. Sertifikasi ISPO ini terus digalakkan untuk meningkatkan kepatuhan pengusaha terhadap komitmen industri kelapa sawit berkelanjutan dan melawan kampanye hitam.  

Ketua Sekertariat Komisi ISPO,  Aziz  Hidayat mengatakan pada 45 sertifikat yang diberikan, mencakup lahan sawit seluas 287.196 hektare (ha). Di antaranya, 215.463 ha area menghasilkan produksi Tandan Buah Segar (TBS) 2.987.522 ton per tahun, dan produksi crude palm oil (CPO) 550.920 per tahun.

"Selama delapan tahun berjalan, jumlah sertifikat ISPO yang telah diterbitkan pemerintah telah mencapai 502  yang terdiri dari 493 perusahaan, 5 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa (KUD) plasma," kata Aziz dui Jakarta, Kamis (28/3).

(Baca: Pemerintah Periksa Izin 20 Juta Hektare Lahan Perkebunan Sawit )

Dengan demikian luas total area yang telah tersertifikasi mencapai 4.115.434 ha atau sekitar 29,30% dari total luas kebun sawit 14,03 juta ha.

Adapun dari jumlah lahan tersebut, area tanaman menghasilkan seluas 2.765.569 ha dengan total produksi TBS 52.209.749 ton per tahun dan CPO 11.567.779 ton per tahun (31% dari total produksi CPO 37,8 juta ton per tahun). Selain itu, produktivitas 18,81 ton per ha dan rendemen rata-rata 22,23 %.

Selain itu, Komisi ISPO telah memberikan pengakuan terhadap dua lembaga pelatihan ISPO yaitu PT Forestcitra Sejahtera dan PT Sinergi Satya Santosa.

Pemerintah melakukan berbagai upaya percepatan sertifikasi ISPO, berupa meningkatkan pemahaman dan kepatuhan pelaku usaha perkebunan untuk sertifikasi ISPO. Kemudian,  pemberdayaan pekebun untuk persiapan penerapan ISPO, serta meningkatkan koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait, pemerintah provinsi/kabupaten, dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

(Baca: Pemerintah Tak Mau Ambil Pusing soal ISPO yang Tak Diakui Eropa)

Selain itu, kata Azis, untuk pencapaian kinerja sertifikasi ISPO dinilai berdasarkan dua periode. Pertama, periode 2011-2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.19 Tahun 2011 bahwa sertifikat ISPO yang terbit untuk 127 perusahaan dengan luas areal 1.167.803 ha. Terdiri dari tanaman menghasilkan seluas 999.554 ha, produksi TBS 19.795.724 ton per tahun, dan produksi CPO 4.726.724 ton per tahun.

Kemudian, periode 2016-2019 berdasarkan Permentan No.11 Tahun 2015 yakni sebanyak 375 sertifikat ISPO terbit terdiri dari 366 perusahaan, 4 KUD plasma, dan 5 koperasi swadaya. Angka tersebut bertambah 295% dengan luas areal 2.947.731 ha, dan produksi CPO sebesar 6.841.055 ton per tahun atau bertambah 145%.

“Setelah terbit Permentan No.11 Tahun 2015, kinerja sistem sertifikasi ISPO telah meningkat secara signifikan dan menunjukkan tren positif,” ujar Azis dalam paparannya.

Kementerian Pertanian menargetkan seluruh pelaku usaha, termasuk petani di sektor perkebunan kelapa sawit dalam negeri telah bersertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada 2020. Dengan adanya ISPO, maka pemerintah berharap hal itu bisa menjadi bukti komitmen industri sawit dalam menjalankan pengelolaan denga prinsip keberlanjutan lingkungan sekaligus menangkal kampanye hitam.

Tak Diakui Uni Eropa

Kendati pemerintah telah berupaya mendorong pelaku usaha mematuhi tata kelola usaha sawit dengan keberkelanjutan lingkungan, namun masih ada saja pihak yang meragukan.

Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indinesia, Vincent Guerend sebelumnya mengatakan sertifikat ISPO belum cukup diakui untuk ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa. "Standar ISPO yang hanya diimplementasikan oleh 15% produsen minyak kelapa sawit di Indonesia belum dianggap sebagai standar umum dunia," kata Vincent dikutip dari Antara News.com.

Uni Eropa tidak menetapkan standar khusus minyak sawit. Tapi sebagai importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India, menurutnya Uni Eropa mendorong negara produsen untuk memberlakukan standar yang kredibel, kuat dan dihargai konsumen.

Menurutnya, sejumlah sertifikat minyak sawit yang diproduksi dengan menerapkan prinsip keberlanjutan, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memang lebih diakui secara dunia.

RSPO didirikan pada 2004, yang mana anggotanya telah mencakup 40% produsen minyak sawit dunia. Selain, produsen ada juga anggotanya pengecer, organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan dan sosial.

Sementara ISPO baru akan diluncurkan pada 2011 oleh pemerintah Indonesia. Sertifikasi kerap mendapatkan kritik karena disebut kurang melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam penyusunannya.

(Baca: Tahan Pelemahan Harga CPO, Pemerintah Siapkan Dua Strategi Kebijakan)

Menanggapi hal tersebut, pemerintah sebelumnya mengaku tak mau ambil pusing mengenai komentar Uni-Eropa yang menganggap Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sepi peminat.

Penerapan sertifikasi ISPO merupakan komitmen pengusaha sawit terhadap industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengungkapkan pemerintah menggalakan penggunaan ISPO.

"Kami berkomitmen untuk membangun tata kelola industri kelapa sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," kata Bambang di Jakarta, Rabu (12/12).

Reporter: Rizka Gusti Anggraini