Perbaiki Neraca Dagang, JK Usul Setop Impor Ferrari dan Lamborghini

Arief Kamaludin|Katadata
Wakil Presiden Jusuf Kalla
2/8/2018, 18.46 WIB

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan penghentian impor mobil mewah dengan kapasitas mesin di atas 3000 cc. Tujuannya, untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang turut berkontribusi dalam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

"Tidak usah impor Ferrari, tidak usah impor Lamborghini contohnya dan macam-macam itu supaya mengurangi faktor-faktor impor tadi," kata Jusuf Kalla di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (2/8).

Menurut dia, secara teori, upaya pengurangan defisit neraca perdagangan memang sebenarnya cukup mudah, yaitu dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor. Namun, praktiknya tidak mudah.

Ia mencontohkan keinginan pemerintah untuk mendorong ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke Eropa yang sempat dijegal oleh parlemen Uni Eropa. Pemerintah sampai harus menggunakan ancaman yaitu tak akan membeli Airbus dan beralih ke Boeing jika dijegal.

"Begitu kami ancam langsung seluruh Dubes-nya (duta besar) datang untuk mengklarifikasi. Akhirnya (pelarangan) sawit itu ditunda lah pelaksanaannya," kata JK.

(Baca juga: Menteri Perindustrian Usul Bea Masuk Impor Mobil Listrik 0%)

Di sisi lain, devisa hasil ekspor (DHE) yang tidak sepenuhnya masuk ke dalam negeri jadi persoalan lain. Dia mengatakan hanya 80% DHE yang masuk ke perbankan di Indonesia. Itu pun hanya sebentar terparkir sebelum kemudian kembali ditransfer ke luar negeri.

Alhasil, DHE yang masuk sulit menjadi pasokan devisa yang riil yang penting dalam membantu stabilisasi nilai tukar rupiah. Menurut dia, kemudahan DHE keluar masuk Indonesia imbas kebijakan lalu lintas devisa yang terlalu bebas setelah deregulasi pada 1980-an dan 1998.

"Jadi mungkin diperlukan suatu sikap yang jelas, bahwa semua ekspor itu harus masuk devisanya," ujarnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution optimistis penerapan kewajiban campuran 20% bahan bakar nabati (biodiesel) dalam solar alias program B20 secara luas mampu membalikkan kondisi defisit pada neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi surplus.

(Baca juga: Program Mandatori Biodiesel 20% Efektif Berlaku 1 September)

Sebab, program tersebut bakal mengurangi secara signifikan impor solar. "Kami percaya begitu dijalankan B20 kita tidak defisit lagi," ujarnya. Adapun sejauh ini, B20 baru digunakan untuk mobil lewat penerapan solar bersubsidi. Nantinya, B20 akan diberlakukan bagi kereta api, pembangkit listrik, kapal laut, hingga alat berat pertambangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan defisit sebesar US$ 1,02 miliar pada semester I 2018. Defisit neraca dagang semester I tersebut merupakan yang pertama kalinya sejak 2015. Seiring kondisi tersebut, neraca transaksi berjalan (perdagangan barang dan jasa) ikutan tertekan.

Bank Indononesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan mencapai US$ 5,5 miliar pada triwulan I tahun ini. Defisit berisiko membengkak menjadi US$ 25 miliar untuk keseluruhan 2018 atau lebih tinggi dibandingkan US$ 17 miliar tahun lalu.