Indonesia Andalkan Otomotif untuk Tutup Defisit dengan Vietnam

Katadata | Arief Kamaludin
Suasana pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2016 di ICE, kawasan BSD, Tangerang.
Penulis: Pingit Aria
14/8/2017, 11.44 WIB

Indonesia dan Vietnam adalah dua negara berkembang di ASEAN yang terus bersaing menembus pasar dunia. Namun, dalam perdagangan keduanya, Indonesia masih mengalami defisit.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, kondisi neraca dagang yang minus itu kemungkinan akan berbalik tahun ini. Sebab, pada paruh pertama 2017, produk otomotif dari Indonesia mulai memasuki pasar Vietnam dalam jumlah lebih besar dibanding periode yang sama tahun 2016.

"Neraca perdagangan kita dengan Vietnam cenderung membaik,” kata Enggar melalui siaran persnya, Senin (14/8).

Ia menyebut, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 966,5 juta pada 2014. Defisit itu menyusut menjadi US$ 421 juta di tahun 2015 dan US$ 182,9 juta pada 2016. Sementara untuk periode Januari–Mei 2017 ini neraca perdagangan Indonesia dengan Vietnam surplus US$ 5,1 juta.

(Baca juga: Perluas Pasar, Pemerintah Bentuk Komite Negosiasi dengan Pakistan)

Ekspor Indonesia ke Vietnam pada lima bulan pertama 2017 tercatat sebesar US$ 1,40 milliar. Angka itu naik 35,32% dari periode yang sama tahun sebelumnya yakni US$ 1,03 milliar.

Sementara itu, impor Indonesia dari Vietnam pada periode Januari-Mei 2017 mencapai nilai US$ 1,39 miliar, atau hanya naik 3,98% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Kita ingin menjaga bahkan mendorong momentum ini agar neraca perdagangan kita dengan Vietnam semakin membaik," kata Enggar.

Enggar baru saja bertemu Menteri Perdagangan dan Perindustrian Vietnam Tran Tuan Anh pada Forum ke-7 Indonesia–Viet Nam Joint Commission on Economic, Science, and Technical Cooperation (JC-ESTC), di Hanoi, Vietnam.

 (Baca: Ada Kampanye Hitam, Ekspor Sawit ke Eropa dan Amerika Tetap Tumbuh)

Dalam forum yang digelar pada Sabtu (12/8) itu, kedua pihak menaruh perhatian besar pada peningkatan perdagangan dan investasi bilateral. Selain perdagangan, Enggar juga menegaskan pentingnya kerja sama Indonesia dan Vietnam di bidang investasi.

Investasi Indonesia di Vietnam antara lain mencakup sektor properti, semen, dan eksplorasi batu bara. Pemerintah ingin mendorong dunia usaha untuk berinvestasi di Vietnam.

“Kami meminta perhatian khusus Pemerintah Vietnam untuk tidak menciptakan iklim yang dapat merugikan investasi Indonesia di Vietnam, tetapi justru mendorong lebih besar lagi,” ujarnya.

(Baca: Bernilai Rp 13,6 Triliun, Pemerintah Incar Pasar Afrika Selatan)

Pertemuan JC-ESTC sepakat untuk mendorong kerja sama di berbagai bidang, mulai dari promosi ekspor, kerja sama industri, investasi, energi (gas dan minyak), pertanian, perikanan, transportasi, keuangan, perbankan dan telekomunikasi, serta kerja sama peningkatan kualitas lada.

Enggar menyebut, pasar Vietnam adalah terbesar ketiga di ASEAN setelah Indonesia dan Filipina, yakni 93,3 juta jiwa. Kelas menengah sedang tumbuh dengan usia produktif mencapai 70% dari total penduduk.

“Karena itu, Indonesia perlu memberi perhatian khusus pada Vietnam bukan saja karena potensi ekonominya sebagai pasar, tetapi juga sebagai tujuan investasi untuk memasuki negara lain yang memiliki FTA bilateral dengan Vietnam,” kata Enggar.

(Baca: Mendag: MoU Barter Sukhoi dengan Hasil Kebun Indonesia Telah Diteken)