Sebagian anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih memiliki pandangan yang berbeda mengenai skema pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero). Tambahan modal ini dibutuhkan untuk pembangunan proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek).
Ada beberapa anggota ada yang mendukung, tapi tidak sedikit pula yang menolak. Anggota Komisi VI DPR Abdul Wachid mengatakan seluruh proyek infrastruktur yang ada adalah perintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan demikian, proyek-proyek tersebut harus berjalan apapun alasannya.
Namun, pemerintah juga harus bertanggung jawab atas pendanaan proyek tersebut, khususnya LRT Jabodebek ini dengan mencari sumber anggarannya. Dia menilai perpindahan PMN KAI, yang seharusnya digunakan untuk merevitalisasi jalur dan kereta di Pulau Sumatera menjadi untuk LRT di Pulau Jawa, kurang tepat.
Menurutnya, masyarakat Sumatera lebih membutuhkan dana tersebut. "Saya tidak setuju PMN untuk Sumatera dipindahkan ke Jakarta," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VI, di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (18/7).
(Baca: Pakai Skema KPBU, Proyek LRT Medan Siap Dibangun 2019)
Anggota Komisi VI lainnya, Bambang Haryo Soekartono, juga menyatakan menolak pemberian PMN kepada KAI untuk membangun LRT Jabodebek ini. Alasannya, harga tiket yang diperkirakan akan berada dikisaran Rp 12 ribu dan juga jalur yang menghubungan dari satu gedung ke gedung lainnya, dinilai tidak memiliki dampak positif terhadap masyarakat miskin.
Menurutnya, proyek yang dibangun di Jabodebek ini juga tidak termasuk dalam program pengentasan kemiskinan. "Proyek ini mengalihkan anggaran Sumatera dibawa ke sini (Jakarta). Padahal, di sana lebih membutuhkan untuk mengangkat ekonomi rakyat yang di bawah. Ini arahnya salah," ujar Bambang.
Sementara itu, anggota Komisi VI lainnya Endang Srikarti Handayani meyakini pemerintah tentunya sudah memiliki perhitungan yang matang akan pendanaan proyek tersebut. PMN perlu diberikan untuk memastikan proyek ini terus berjalan. "Saya percaya bahwa tidak mungkin pemerintah menghamburkan uang negaranya sendiri. Maka, kami akan setujui," ujarnya.
(Baca: Sepertiga Anggaran Kemenhub Untuk Danai Proyek Kereta Api)
Perdebatan ini menyusul permintaan KAI yang meminta tambahan PMN sebesar Rp 2 triliun. Secara total, Direktur Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk Budi Harto menjelaskan kebutuhan PMN untuk proyek ini adalah Rp 9 triliun yang berasal dari PMN milik KAI tahun 2015 sebesar Rp 2 triliun, tahun 2017 ini sebesar Rp 2 triliun, dan tahun depan sebesar Rp 3,6 triliun. Sementara sisanya RP 1,4 triliun diperoleh dari PMN yang diberikan kepada Adhi Karya.
Total dana yang dibutuhkan untuk pembangunan proyek ini sekitar Rp 27 triliun. Rinciannya, Rp 23 triliun untuk prasarana dan Rp 4 triliun untuk sarana LRT Jabodebek. Total kekurangan dana sebesar Rp 18 triliun akan diperoleh dari pinjaman perbankan.
Budi mengaku ada potensi nilai investasi untuk prasarana bisa berkurang menjadi Rp 19,7 triliun. Penurunan ini diperoleh dari perhitungan sementara Adhi Karya dalam melakukan efisiensi biaya (cost). "Itu dari kontrak saya tawarkan harga besi berapa ditawar berapa. Jadi memang ada sejumlah penghematan," ujarnya. (Baca: Pakai Sistem Sinyal “Moving Block”, LRT Butuh Tambah Dana Rp 300 M)
Dia pun merasa yakin proyek ini bisa rampung dan beroperasi pada Mei 2019. Hingga saat ini, Adhi Karya telah mengeluarkan dana Rp 3 triliun dengan kemajuan pembangunan sebesar 15 persen. Pada akhir tahun ini, Budi menargetkan progres pembangunan proyek LRT Jabodebek akan mencapai 45 persen.