Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Teten Masduki, mengusulkan perluasan anggaran pendampingan usaha mikro kecil menengah (UMKM) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan adanya model pendampingan yang berkualitas, dia berharap sektor UMKM bisa segera naik kelas.
Kemnkop dan UKM tahun ini memperoleh Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan non fisik sebesar Rp 200 miliar. Dana tersebut dialokasikan untuk pelatihan dan pendampingan koperasi dan UMKM.
Sementara itu, saat ini banyak anggaran UMKM tersebar di sejumlah kementerian. Jika anggaran tersebut disatukan dan dikelola di bawah kementeriannya, maka nilai yang terkumpul diperkirakan mencapai Rp 4,6 triliun.
"Ini yang sedang kami kerjakan dengan Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Menteri Bappenas sudah menyampaikan ke publik bahwa presiden setuju merombak anggaran menggeser dari infrastruktur ke UMKM," katanya dalam webinar Inovasi UMKM Tetap Berjaya di Tengah Pandemi, Kamis (12/11).
Sedangkan anggaran UMKM senilai Rp 4,6 triliun yang menyebar di sejumlah kementerian, apabila bisa dipindahkan ke tempatnya akan sangat membantu program pengembangan UMKM.
Teten mengungkapkan proses pendampingan UMKM saat ini terkendala sejumlah hal. Pertama dari segi jumlah pendamping tidak mencukupi atau tidak sebanding dengan jumlah UMKM yang mencapai 64 juta. Kedua, kendala dari segi kualitas.
"Banyak yang asal rekrut saja, apalagi kalau musim Pilkada. Sehingga ini mau di evaluasi jumlah dan kebutuhan. Padahal sebetulnya, di setiap daerah infrastrukturnya sudah bagus," kata dia.
Sementara itu, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim optimistis dari 64 juta UMKM yang ada di Indonesia, 10% di antaranya bisa maju dan berkembang. Hal ini bisa dicapai asalkan melalui pendekatan yang tepat sehingga usaha mikro bisa kapasitasnya dapat ditingkatkan.
"Tentu kami juga akan memperbanyak model, baik dengan mentoring dan inkubasi," ujar Arif.
Meski demikian, untuk merealisasikan rencana itu juga membutuhkan alokasi dana yang besar. Dengan kemungkinan penambahan alokasi pendanaan dari Bappenas dengan menggeser anggaran lain, dia yakin kemampuan pemerintah membedayakan koperasi dan UMKM bisa lebih baik.
Peningkatan Kolaborasi UMKM
Teten mengatakan, ke depan pemerintah ingin UMKM dalam negeri berkembang seperti Korea, Jepang atau Tiongkok dengan total ekspor yang mencapai 40%.
Dari segi produk yang dibuat pun, ketiga negara sukses mengintegrasikan dengan ratai pasok domestik maupun global. Oleh karena itu, ke depan pengembangan UMKM akan difokuskan berbasis komunitas, kawasan, kluster dan rantai pasok.
"Kita mau UMKM bertransoformasi menjadi berbasis teknologi. Kalau terus-terusan seperti ini ya selamanya tak akan naik kelas," kata Teten.
Adanya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menurutnya mendukung transformasi UMKM melalui pendekatan inkubator bisnis. Untuk meralisasikannya, UMKM bisa bekerja sama dengan swasta, termasuk perguruan tinggi agar setiap daerah bisa menonjolkan keunggulannya.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan UMK Riza Damanik menambahkan, Indonesia memiliki sumber daya yang luas. Tetapi, yang menjadi persoalan masih adanya batasan antara korporasi dan pelaku UMKM. Oleh sebabnya, kolaborasi dengan korporasi bisa menjadi kunci pertumbuhan.
Dia mencontohkan Jepang dan Korea yang memiliki keterikatan satu sama lain. Pasalnya, pelaku industri otomotif turut menggandeng UMKM sebagai penyedia suku cadang (sparepart).
Oleh karenanya, kolaborasi antara pemerintah pusat, BUMN, pemerintah daerah, BUMD, perusahaan swasta maupun perguruan tinggi dinilai penting untuk mendukung pasar produk UMKM.
“Di masa pandemi sektor beberapa sektor seperti pangan masih tumbuh baik. Tetapi, yang jadi masalah adalah penyerapannya mengalami perlambatan,” ujar Riza.
Managing Director Sinarmas, Gandi Sulistiyanto juga mendorong kolaborasi antara korporasi dan koperasi usaha kecil sebagai sebuah mata rantai. Sebab, cara ini diharapkan bisa menumbuhkan bisnis secara berkelanjutan.
"Jangan hanya Corporate Social Responsibility (CSR), itu tak akan sustain. Sehingga lebih baik dikaitkan dalam mata rantai pasok," ujarnya.
Sebagai contoh kolaborasi plasma inti industri sawit. Terbukti, sejak tahun 1980 sampai sekarang kontribusinya sangat besar hingga bisa membawa Indonesia sebagai eksportir nomor satu di dunia.