Produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia terus mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Keterbatasan pemupukan dan gangguan cuaca disinyalir menjadi penyebabnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi CPO Indonesia pada tahun 2021 mencapai 46,89 juta ton atau 0,31% lebih rendah dari 2020 (47,034 juta ton).
Pada tahun 2020, produksi CPO Indonesia juga turun 0,31% dari 47.180 di tahun 2019. Produksi CPO dalam empat tahun terakhir adalah sebesar 46,89 juta ton (2021), 47,034 juta ton (2020), 47,18 juta ton (2019), dan 43,11 juta ton (2018).
Sementara itu, produksi CPKO (crude palm kernel oil) turun 3,01% pada tahun 2021 menjadi 4,41 juta ton.
Rendahnya produksi pada 2021 menahan pertumbuhan volume ekspor di tengah tingginya permintaan global.
Selain itu, tingginya harga dan terkikisnya selisih antara minyak sawit dengan minyak nabati lainnya, khususnya minyak kedelai, juga menahan pertumbuhan volume ekspor.
Ekspor produk minyak sawit Indonesia pada tahun 2021 yang mencakup CPO, olahan CPO, PKO (palm kernel oil), oleokimia dan biodiesel mencapai 34,2 juta ton.
Angka tersebut naik tipis 0,6% dari pencapaian ekspor 2020 sebesar 34,0 juta ton.
Secara nilai, ekspor sawit pada tahun 2021 mencapai US$35 miliar atau melonjak 52% dibandingkan tahun 2020 (US$22,9 miliar)
"Pengaruh Covid-19 sangat besar terhadap permintaan minyak sawit dari negara pengimpor baik karena perubahan tingkat konsumsinya maupun karena regulasi pengetatan impor di beberapa negara," kata ," Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono dalam keterangan resmi, Jumat (28/1).
Sebaliknya, konsumsi domestik pada 2021 naik 6,18% menjadi 18,42 juta ton dari capaian 2020 sebesar 17,34 juta ton. Pertumbuhan terbesar dialami oleh konsumsi oleokimia sebesar 25,42% menjadi 2,12 juta ton.
Konsumsi oleokimia pada 2021 bahkan mencetak rekor baru lantaran konsumsi nasional pertama kalinya menembus level 2 juta ton.
Sebagai informasi,
Sementara itu, konsumsi oleh industri pangan pada 2021 naik 6% secara tahunan menjadi 8,95 juta ton. Konsumsi biodiesel naik 2% secara tahunan menjadi 7,34 juta ton.
Prospek 2022
Gapki memperkirakan produksi CPO pada 2022 akan naik 4,52% menjadi 49 juta ton sedangkan produksi CPKO akan tumbuh 8,79% menjadi 4,8 juta ton.
Ekspor CPO pada 2022 diperkirakan menyusut sekitar 3% menjadi 33,21 juta ton.
Dengan kata lain, kinerja volume ekspor akan kembali menyentuh level 33 juta ton, level terendah sejak 2018. Penurunan ini dinilai disebabkan oleh pertumbuhan produksi yang lebih lambat dari peningkatan konsumsi domestic.
Konsumsi domestik pada tahun ini akan tumbuh 11,78% menjadi 20,59 juta ton.
Secara rinci, konsumsi pangan akan naik 7,21% menjadi 9,6 juta ton, oleokimia terkontraksi 1,59% menjadi 2,16 juta ton, dan biodiesel melonjak 20,26% menjadi 8,83 juta ton.
Mukti menilai konsumsi minyak sawit di dalam negeri akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan Covid-19.
Di sisi lain, harga CPO pada tahun ini dinilai cenderung tumbuh setidaknya hingga Juni 2022. Pada 2021, rata-rata harga CPO telah melesat 67% menjadi US$ 1.194 per ton dari realisasi 2020 di level US$ 715 per ton.
"Selama bulan Januari 2022, harga minyak nabati cenderung naik kembali. Fluktuasi harga ini disebabkan oleh banyaknya faktor ketidakpastian baik dari segi produksi maupun permintaan minyak nabati," kata Mukti.
Agar konsumsi minyak sawit di dalam negeri tidak terpengaruh oleh harga CPO dunia, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan kewajiban harga domestik (DPO).
Sejauh ini, DMO dan DPO CPO hanya berlaku pada produk minyak goreng, namun aturan ini akan diperluas menjadi seluruh produk turunan CPO.
Adapun, DMO yang ditetapkan adalah 20% dari volume ekspor setiap tahunnya. Sementara itu, DPO yang berlaku adalah Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 untuk olein.
Aturan DMO dan DPO adalah memastikan agar ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri terjaga dari fluktuasi harga internasional.
Selain itu, produsen minyak goreng tidak lagi dapat menjual produknya dengan harga tinggi lantaran volume dan harag bahan baku di dalam negeri telah dijamin pemerintah.